Karena fitur-fitur canggih tersebut, Penulis merasa seperti seorang pilot, yang bisa melihat segala macam situasi saham-saham. Mulai dari berita terbaru, riset analis, live trading, dll. Secara tidak sadar, hal tersebut memicu adrenalin kita sebagai investor. Seolah-olah kita merasa berani melakukan transaksi jual dan beli, karena kalau terjadi apa-apa, toh kita cepat tahu karena semua informasi ada di depan mata kita.

Penulis bahkan bisa sampai melakukan intraday trading (beli dan jual saham dalam satu hari yang sama) dalam frekuensi lumayan sering. Pagi saat opening bell melakukan transaksi, dan sore saat menjelang closing bell melakukan transaksi jual. Biasanya meskipun baru naik beberapa poin saja (untung 1% – 2%), Penulis sudah jual saham yang baru saja dibeli. Ada kepuasan tersendiri rasanya ketika dalam waktu 1 hari, uang investasi kita bertambah 1% – 2% (bunga bank saja kalah).

Secara tidak disadari, kebiasaan itu terbawa selama 3 tahun. Ketika market bullish (naik), intraday trading seolah-olah memberikan kenikmatan, karena kita menikmati profit secara CEPAT. Namun, ketika market bearish (turun), rasanya seperti neraka. Seriously. Karena kebiasaan melototin layar trading tersebut, saat kita harus cut loss, rasanya Penulis jadi justru merasa tertantang. “Ahh hari ini loss 2%, besok harus profit 3% pokoknya”, kemudian keesokan harinya cut loss lagi 3%, “Wah 2 hari loss 5%, besok harus profit 7% pokoknya”, dst. Begitulah kurang lebih pikiran Penulis saat masih menjadi trader.

Dan, yang seperti sudah pernah dibahas sebelumnya, hal ini lah yang menjadi puncak “kesuksesan” Penulis menuju kejatuhan. Modal Penulis akhirnya lambat laun hanya tersisa 15%. Tujuan awal berinvestasi berubah menjadi seperti meja judi. Ketika kita kalah (baca : cut loss), kita malah menjadi semakin penasaran. Semua fitur-fitur dan informasi canggih dari layar trading seolah-olah menjadi tidak berguna sama sekali. Penulis menjadi stress dan frustasi sampai akhirnya memutuskan menjauh dari dunia investasi saham.

1.5 tahun berlalu, Penulis mempelajari prinsip-prinsip investasi dari Warren Buffett, yang mempraktekkan Value Investing. Berbagai prinsip investasi Buffett sudah pernah dibahas dalam artikel sebelumnya, namun satu prinsip Warren Buffett yang Penulis tekankan kembali di sini adalah “jangan gegabah / terlalu sering membeli dan menjual saham”  Buffett berinvestasi di Coca-Cola pada 1988, dan tak pernah menjual satu lembar pun sahamnya setelah itu. Buffett juga masih memegang American Express, meski telah melewati masa-masa sulit. Seorang Lo Kheng Hong juga pernah membeli saham di MBAI (PT Multibreeder Adirama) selama 6 tahun sebelum kemudian menjualnya dan merealisasikan profit 12,500 % (125X lipat dari modal awal). Sebuah cara berinvestasi yang sangat berbeda bukan? Di titik inilah Penulis kemudian merubah cara berinvestasi Penulis dari seorang trader menjadi seorang investor.

Pertanyaannya sekarang adalah, mana yang lebih baik : Trading atau Investing? Jawabannya adalah kembali lagi kepada gaya anda. Jika Anda bertanya kepada Penulis (dan value investor lainnya), jawabannya tentu saja investing. Mengapa? Karena Value Investing merubah cara pandang kita terhadap naik turun nya sebuah saham. Value Investing tidak fokus kepada naik turunnya saham dalam jangka pendek, melainkan percaya bahwa selama fundamental perusahaan bagus, meskipun harga saham nya turun, toh dia pasti akan naik lagi. Jadi tidak perlu panik untuk menjual, bahkan justru beli saham tersebut lebih banyak lagi. Sementara jika kita masih memakai pola pikir trader, sudah pasti kita akan cut loss.

Satu hal lagi, ketika kita memakai pola pikir trader, maka kita akan stress dan frustasi di depan layar trading melihat warna merah (saham-saham pada berjatuhan). Sementara jika kita memakai pola pikir investor, kita justru akan tetap happy, karena kita tahu bahwa penurunan itu hanya SEMENTARA bahkan justru beli lebih banyak lagi di harga diskon, karena kita juga tahu perusahaan yang kita beli sahamnya tersebut memiliki fundamental yang bagus. Jadi kita bisa tutup laptop, dan jalan-jalan sama keluarga.


Oleh : Rivan Kurniawan 
Indonesia Value Investor
Artikel ini sebelumnya terbit 06 Februari 2017 di: 
http://rivankurniawan.com/2017/02/06/trading-atau-investing/ dengan judul "TRADING ATAU INVESTING?"