I. Mega Korupsi
Setelah agak lama terpendam dan hampir terlupakan
dari hiruk pikuk pemberitaan publik, akhirnya kasus mis management yang terjadi
di perusahaan asuransi Jiwasraya terangkat
kembali setelah Jaksa Agung turun tangan untuk menuntaskannya yang sebelumnya
tidak mampu diselesaikan oleh pihak Pengadilan Tinggi Jakarta
Mega korupsi, yang karena memang jumlah kerugian
bukan lagi hanya miliaran rupiah, tetapi sudah bertrilunan rupiah dan
dipastikan merugikan keuangan negara dengan jumlah yang sangat fantastis dan
tidak wajar.
Apa pun cerita dan alasan yang dikemukakan,
dipastikan ini adalah pelanggaran compliances atau kepatuhan pihak manajemen
pada prinsip pengelolaan investasi yang benar dan tepat dan diijinkan oleh
peraturan perseroan. Disana pasti ada pelanggaran tata kelola perusahaan yang
baik dan benar, atau dikenal dengan Good Corporate Governance - GCG, yang
biasanya demi kepentingan "pribadi atau kelompok" secara material.
Nampaknya inilah yang sudah terjadi dalam PT
Jiwasraya, yang merupakan satu-satu nya perusahaan asuransi milik pemerintah
atau berpelat merah. Dan karenanya secara struktur organisasi, berada dalam
lingkup badan atau pun kementerian yang terkait.
Akibatnya sangat fatal, karena angka Rp 13,7
triliun merupakan indikasi kerugian negara yang harus dipertanggungjawabkan
secara hukum dan profesionalisme.
II. Mis Management
Seperti diberitakan oleh jpnn.com bahwa dari Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) sendiri sudah melakukan audit, dan potensi kerugian
negara yang mencapai angka Rp13,7 triliun. Sungguh jumlah yang tidak sedikit
sebagai fakta kesalahan dan kegagalan manajemen yang bertanggungjawab saat itu.
"Terlalu berani atau memang lemah dalam
pengawasan managerial?" menjadi pertanyaan mendasar melihat kasus yang
menjadi indikasi pidana dari kasus ini. Yang oleh pihak kejaksaan agung di
duga adanya korupsi di kalangan pengelola dana tersebut.
Hukum dasar investasi "high risk high
return" diterapkan secara sembarangan oleh pengelola investasi.
Kesalahannya sederhana, ingin hasil sebesar-besarnya tetapi di tempat atau
instrument investasi yang sangat buruk. Mengapa memaksakan? Di duga ada
kepentingan yang hendak diselamatkan, walaupun terpaksa harus merugikan
perusahaan.
III. Salah Investasi
Prinsip maupun hukum di arena investasi yaitu
"high risk high return" hendak menegaskan kepada investor bahwa
semakin tinggi hasil investasi yang diinginkan, biasanya juga memiliki risiko
yang tinggi. Atau sebaliknya, semakin rendah risiko yang hendak di ambil,
tetapi juga hasilnya pasti sangat rendah.
Dan di area inilah para investor bermain-main
investasi. Sekaligus juga menggambarkan jenis-jenis investor dilihat dari
kemampuan atau keberaniannya mengambil risiko dari investasi yang dilakukan.
Ada yang sangat berani mengambil risiko atau risk taker, tetapi ada juga yang
sangat menghindari risiko sama sekali. Masing-masing dengan konsekuensi hasil
atau keutungan yang mungkin di dapat.
Apa yang dilakukan oleh manajemen Asuransi Jiwasraya sungguh
mengangetkan karena keluar dari koridor prinsip kehati-hatian dalam melakukan
investasi, seperti yang diberitakan oleh jppn.com, yang dapat disarikan menjadi dua keputusan
investasi kunci, yaitu :
Satu, Jiwasraya
melakukan investasi penempatan pada saham dengan nilai Rp 5,7 triliun atau
setara dengan 22,4% dana yang dimiliki.
Tapi kesalahan fatalnya adalah penempatan dana 5,7
trilun rupiah itu dibadi dalam dua kelompok sahama yaitu
1.
5% atau
285 miliar pada saham-saham blue chip atau LQ-45, dan
2.
sisanya
sebanyak 95% atau 5,415 triliun di belikan saham-saham yang kinerjanya buruk.
Dengan portofolio seperti ini, maka porsi 5% pada
saham blue chips tidak mampu mengurangi risiko yang terlalu tinggi pada 95%
saham-saham yang buruk. Akibatnya ya fatal!
Dua, Jiwasraya
melakukan investasi pada instrument fund, atau Reksa Dana. Tidak
tanggung-tanggung jumlahnya mencapai 14,9 trilun rupiah atau setara dengan
59,1% dari dana yang dimilikinya.
Reksa Dana sebagai instrument jangka panjang tentu
menjadi pilihan bijaksana. Tetapi kesalahan fatal manajemen adalah ketika
memilih funda management atau Manager Investasi yang mengelola dana sebanyak
itu.
Dilansir dari pemberitaan, pihak manajemen memilih
dua perusahaan Manajer Investasi (MI), yaitu
1. MI yang terbaik atau dikenal dengan Top Tier
Management, tetapi jumlahnya hanya 2% dari total yang dikelola, yaitu 298
miliar rupiah, dan sisanya
2. 98 % atau setara dengan 14,602 triliun diserahkan
kepada perusahaan MI yang memiliki kinerja buruk.
Portofolio reksa dana pada perusahaan MI menjadi
cerminan keputusan investasi yang sangat fatal. Mungkinkah ada kepentingan
dibalik penempatan dana yang sangat besar baik pada saham yang kinerjanya
buruk, maupun pada perusahaan MI yang kinerjanya juga buruk?
Orang awam akan mengatakan, sangat mungkin disana
ada permainan komisi atau fee yang disediakan oleh pihak pengelola. Ini menarik
untuk diselidiki, karena angkanya tentu tidak lagi kecil.
Lihat saja dana yang dikelola baik pada saham
sebesar 5,7 trilun rupiah, ditambah 14,9 trilun rupiah pada instrument RD,
menjadi sekitar 20,6 triliun rupiah. Kalau saja komisi sebesar 0,001% dari dana
sebesar 20,6 trilun, bisa dibayangkan berapa besarnya.
Ini tentu menjadi area dari pihak kejaksanaan agung
dan pihak lain untuk membukrtikannya.
IV. Produk JS Plan: Produk Gagal atau Mis
Investasi
Orang awam akan mengatakan, sangat mungkin disana
ada permainan komisi atau fee yang disediakan oleh pihak pengelola. Ini menarik
untuk diselidiki, karena angkanya tentu tidak lagi kecil.
Lihat saja dana yang dikelola baik pada saham
sebesar 5,7 trilun rupiah, ditambah 14,9 trilun rupiah pada instrument RD,
menjadi sekitar 20,6 triliun rupiah. Kalau saja komisi sebesar 0,001% dari dana
sebesar 20,6 trilun, bisa dibayangkan berapa besarnya.
Ini tentu menjadi area dari pihak kejaksanaan agung
dan pihak lain untuk membukrtikannya.
IV. Produk JS Plan: Produk Gagal atau Mis
Investasi
Di lansir dari tempo.co direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya Hexana Tri
Sasongko yang merupakan direksi yang relatif baru, menjelaskan sumber utama
masalah ini adalah konsekuensi dari peluncuran produk Jiwasraya bernama
JS Plan, Saving Plan yang sangat berhasil dan sukses dalam rangka
mencapatkan perhatian nasabah dan Jiwasraya mencetak peroleh premi yang luar
hiasa hingga mencapai 21,91 trilun rupiah pada tahun 2017.
Pada 2015, perolehan premi JS Plan mencapai Rp 5,15
triliun atau 50,3 persen dari total premi kala itu, pada 2016 meningkat menjadi
Rp 12,57 triliun (69,5 persen dari total premi), dan 2017 menjadi Rp 16,54
triliun dengan total premi Rp 21,91 triliun. Pada 2018, perolehan premi JS Plan
menyusut menjadi Rp 5,46 triliun atau 51,1 persen dari total premi.
Produk JS Plan menurut Dirut Jiwasraya merupakan
produk yang menuntut likuiditas tinggi tetapi juga dengan tuntutan return yang
sangat tinggi, dank arena hasil yang tinggi itulah nasabah sangat tertarik
sehingga meledak.
Tetapi kenyataannya berbicara lain, investasi yang
dilakukan oleh pihak manajemen, seperti sudah diuraikan diatas tadi, ditaruh
ditempat yang sangat berisiko sehingga bukannya dapt hasil malah
"buntung", baik karena saham-saham yang dipilih kinerjanya baik,
bukan semuanya pada blue chips, tetapi juga pilihan Perusahaan MI yang
berkinerja buruk.
"Kenyataannya (imbal hasil JS Plan) tidak
pernah bisa di-cover oleh investasi. Imbal hasil yang dijanjikan itu efektifnya
13 persen, turun jadi 7 persen, kondisi pasar jauh lebih rendah dari itu (sehingga
menyebabkan kerugian)," ujar Hexana dalam paparannya saat rapat dengan
Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Senin, 16 Desember 2019.
Akhirnya ketika para nasabah pemegang polis miminta
haknya karena jatuh tempo tiba maka Jiwasraya gagal bayar nyaris mendekati
angka triliunan rupiah yang harus ditebus kepada pemegang polis.
Pertanyaan sederhana dan menarik adalah apakah
Poduk JS Plan ini gagal produk atau mis management Jiwasraya?