Perdagangan yang terjadi di pasar modal dan pasar uang
pada hari ini, Senin 16 Maret 2020, sungguh menarik untuk dicermati. Karena
agak bertentangan dengan teori pasar uang dan pasar modal yang selama ini
dikenal secara luas.
Sebab hari ini kedua pasar ini, capital market dan
money market bergerak dengan arah yang sama, yaitu melemah signifikan bahkan
boleh diktakan abruk kembali khususnya pasar modal yang dikelola oleh BEI, Bursa Efek
Indonesia.
Dalam keadaan normal, pergerakan dua instrumen pasar
keuangan ini selalu berlawanan, yaitu saat rupiah melemah biasanya diikuti
dengan indeks harga saham di birsa efek yang menaik dan meningkat. Atau
sebaliknya, ketika harga-harga saham menurun, biasanya supiah semakin menguat.
Tetapi, hari ini yang terjadi memang di luar keadaan
normal. Keduanya sama-sama melemah. Bila dicermati pergerakan nilai rupiah
terhadap dollar USA mencatat angka yang agak mengkuatirkan, yaitu Rp 14.875 per
dolar AS. Nyaris menyentuh angka 14.900 rupiah sebagai salah satu angka
psikologis. Keadaan ini memang hampir sama untuk semua mata uang di kawasan
Asia.
Sementara harga saham di BEI yang ditunjukkan oleh
Indeks Harga Saham Gabungan, IHSG, pada awal sesi kedua perdagangan hari ini memperlihatkan
trend semakin anjlok dan tercatat diangka 4.683,92 rupiah.
Simpul Harga Saham, IHSG
Sejak tiga tahun yang lalu, tepatnya 3 November 2017
merupakan simpul waktu penting dalam sejarah BEI. Karena pada tanggal itulah
IHSG di BEI menyentuh angka di Rp 6.000-an tepatnya 6.039,54. Dan membawa
situasi yang sangat kondusif bagi perdagangan efek di pasar modal Indonesia.
Agak lama bertahan angka IHSG diatas 6.000-an, dan
sempat turun beberapa hari pada bulan Mei 2019. Tepatnya tanggal 15 Mei 2019,
IHSG turun ke 5.980,89, namun satu minggu kemudian IHSG kembali ke angka
6.032,70.
IHSG mulai meninggalkan angka 6.000-an pada tanggal 31
Januari 2020 karena wabah atau epidemik virus corona yang mulai
berkembang dari kota Wuhan, China.
Angka harga saham di BEI terus menurun sejalan dengan
WHO menetapkan virus ini sebagai wabah global, dan dan IHSG meninggalkan angka
5.000-an pada tanggal 12 Maret 2020. Pada hari ini, kendati harga saham dibuka
agak hijau tetapi ditutup dengan Rp 4.8495,75 sebagai IHSG terendah pada hari
itu.
Dan terus saja menurun hingga perdagangan hari ini
sudah menyentuh 4.683,92 rupiah. Walaupun transaksi hari ini sejak pagi hingga
aawal perdagangan sesi kedua tidak terjadi halt (penghentian transaksi), tetapi
penurunan membuat keadaan tidak banyak berubah.
Dilihat dari dinamika perubahan dan perkembangan yang
ada, maka apa yang terjadi sesungguhnya sesuatu yang wajar. Memang demkianlah
pasar itu, ada saat naik harga dan ada saat turun.
Koreksi yang terjadi terhadap harga saham menjadi
tantangan, karena angka 6000an merupakan benchmark untuk harga saham kedepan
untuk kembali normal lagi.
Saatnya Memborong Saham
Kalau dihitung penuruan harga saham, dengan IHSG dari
angka 6.000-an ke angka 4.600-san, artinya ada penurunan sekitar 20-24% hanya
dalam rentang waktu 45 hari atau satu setengah bulan, menjelaskan kalau harga
saham sudah sangat murah secara rata-rata. Dan sudah banyak yang undervalued sebagai
indikator dasar untuk masuk pada posis beli saham.
Bila Anda seorang investor, patokan sederhana untuk
membuat keputusan beli atau borong adalah dengan menjawab pertanyaan apakah
harga saham saat ini overvalued atau undervalued.
Overvalued artinya
harga saham di pasar lebih tinggi dari nilai atau harga wajar dari saham itu
sendiri. Dan itu artinya, seharusnya sahamnya tidak perlu dibeli, atau saatnya
untuk menjual kalau masih menyimpan saham tertentu.
Sebaliknya, kalau undervalued artinya
harga saham di pasar lebih rendah dari harga saham wajar dan menjelaskan bahwa
potensi harga saham akan naik dari hari ke hari.
Artinya juga investor harus membeli maupun menyimpan
saham-saham seperti ini. Tidak saja potensi capital gain yang dapat diraih
tetapi juga potensi dividen yang akan diterima pada akhir tahun buku.
Dengan IHSG yang sudah turun lebih dari 20%,
dipastikan sudah banyak saham yang undervalued di BEI. Dan menjadi peluang bagi
investor untuk segera masuk dan membeli, bahkan memborongnya.
Kemungkinan akan terjadi borong saham oleh
emiten besar, seperti BUMN, Bank-bank Pemerintah yang sudah go publik akan
mempertimbangak segera untuk melakukan pembelian kembali, semacam buy
back saham-saham milik mereka di bursa efek Indonesia. Ini sebuah
strategi investasi yang sangat wajar dan biasa dilakukan.
Para investor individual harus jeli, cermat dan smart
untuk memperhatikan peluang ini. Dan segera mengambil posisi untuk membeli dan
kalau perlu memborong saham-saham yang termasuk bagus yang tergabung dalam
semacam LQ, JII30, Bisnis maupun Kompas100, dan yang lainnya.
Faktor Mempengaruhi IHSG
Naik turunnya harga saham di bursa efek memang secara
mendasar karena ketidakseimbangan antara sisi permintaan dan penawaran. Dan
dengan trend yang semakin menurun terus, dipastikan karena investor yang
melepaskan sahamnya atau dijual semakin banyak dan dalam jumlah besar.
Bahkan dipastikan, investor asing yang memiliki
dana-dana besar yang pada umumnya mengambil posisi untuk melepas atau menjual
saham-saham mereka.
Sementara pada satu sisi, jumlah yang membeli tidak
sebanding dengan jumlah yang menjual, terutama untuk mempertahankan harga saham
pada posisi tertinggi. Sangat wajar ketika harga saham turun, dan investor lain
menunggu sampai harga termurah untuk membelinya.
Tetapi, pertanyaan sederhananya adalah mengapa
investor, utamanya investor asing melepaskan saham mereka? Jawabannya juga
sederhana, karena ada kepanikan dan ketakutan atas wabah pandeminya virus
corona Covid-19.
Sebagai investor asing, tidak mau mengambil risiko
besar terkait modalnya, sementara dia harus kembali ke negara masing-masing.
Dan hukum pasar memang demikian, sebab ketika wabah
virus covid-19 sudah lewat, maka investor asing ini pasti akan kembali untuk
berinvestasi kembali di Indonesia.
Kondisi seperti ini juga dialami oleh seluruh bursa
efek di dunia. Bukan hanya satu pasar modal saja. Dan karenanya menjadi bagian
dari pergumulan pengelola pasar modak di dunia.
Setiap negera dan pemerintahan akan berusaha menjaga
dan memperbaiki kinerja setiap pasar modalnya. Sebab, dinamika pasar modal akan
menjadi indikator kemajuan dan perkembangan perekonomian suatu negara.
Faktor lain yang secara spesifik ikut mempengaruhi
turunnya harga saham adalah adanya sentiment positif atau negatif terhadap
pasar. Kalau sentimen positif biasanya harga saham akan naik. Dan sebaliknya
demikian juga harga saham turun kalau negatif.
cnbcindonesia.com mencatat
terokoreksinya harga saham sampai 4,2% karena neraca perdagangan yang surplus
tidak mampu mendorong sentiment positif.
Masih pada sisi sektor ril dalam bidang ekonomi,
kekuatiran muncul ketika suplay chain tidak berjalan
dengan lancar dan akan mengganggu proses produksi pada manufaktur di Indonesia.
Ini tentu sangat mempengaruhi aktivitas bisnis yang sangat dibutuhkan menopang
ketahanan ekonomi nasional.
Faktor lain secara global adalah arah kebijakan dan
keputusan The Fed di USA yang sangat mempengaruhi apakah IHSG akan terdongkrat
naik atau malah amblas. Kebijakan di the Fed patut dicermati oleh para investor
sebelum membuat keputusan investasi di bursa efek.
Artikel ini telah diterbitkan di