Penyebab Pergerakan Harga Saham
Perilaku para investor yang melakukan jual dan atau beli saham di bursa
efek akan menentukan pergerakan dari suatu harga saham setiap sesi perdagangan,
maupun mingguan, bulanan bahkan tahunan. Artinya, secara teknikal naik atau
turunnya harga saham di bursa efek tergantung dari tarik menarik antara para
pembeli dan penjual.
Cara memahaminya demikian, kalau yang membeli saham
jumlah lebih banyak dari yang menjual saham, maka harga saham cenderung akan
naik.
Kencenderungan ini akan semakin kencang kalau yang
membeli semakin banyak dan memaksa untuk membeli, sementara yang menjual semakin
bertahan untuk tidak melepas atau tidak bersedia menjual.
Hal sebaliknya yang akan terjadi, ketika para penjual
lebih banyak dari yang mau membeli, maka dipastikan harga saham cenderung akan
turun. Dan dorongan turunnya harga saham semakin kencang kalau yang menjual
semakin banyak sementara yang beresedia membeli tidak banyak.
Sesungguhnya keadaan ini sangat wajar dan lumrah, yang
bisa dimengerti sebagai hukum permintaan dan penawaran, yang juga berlaku di
pasar modal, yang memperjualbelikan efek (saham, obligasi, reksa dana atau
turunannya).
Keadaan seperti inilah yang terjadi di Bursa Efek
Indonesia, BEI, selama beberapa minggu terakhir hingga saat ini. Ketika
harga saham di BEI, dalam bentuk IHSG turun
hingga melebihi 35%, maka itu pertanda banyak investor yang melepaskan sahamnya
di bursa efek.
Saking ingin melepaskan, mereka beresedia menjual
dengan harga murah sekalipun, maka pembeli terus menekan agar harga terus
menurun ke bawah.
Kendati BEI dan juga OJK memberlakukan standar auto
rejaction, bahkan juga memberlakukan trading halt, tetap saja harga saham
meluncur ke bawah hingga di bawah 4000-an IHSG yang sebelumnya masih berada di
angka 6000-an sebelum wabah virus Covid-19 menghantam Indonesia. Mengapa?
Karena memang pemegang saham sedang mengalami
"kepanikan" dan "ketakutan" akan risiko yang semakin berat,
sedemikian rupa hingga tidak mau memegang saham lagi, dan melepaskan walaupun
dengan harga murah.
Nah, pada saat yang sama pula, ada para pembeli saham yang
memiliki keyakinan bahwa situasi yang akan terjadi tidak seburuk yang
dibayangkan oleh si pembeli, sementara harga saham sudah sangat rendah, sudah
undervalued, dan kesempatan untuk membeli bahkan memborong untuk dikoleksi.
Situasi ini juga yang terjadi pada hari Kamis dan
Jumat tanggal 26 dan 27 Maret 2020. Para pemburu saham yang harga murah sudah
melebihi jumlah yang terus menjual. Dan mendorong harga saham, IHSG, naik
kembali. Tidak tanggung-tanggung, misalnya salah satu harga saham sebuah Bank yang
pada hari Selasa 24 Maret 2020 sekitar Rp 22.000-an, dan pada Kamis 26 Maret
2020, langsung naik menjadi sekitar Rp 26.000,-.
Dipastikan pada perdagangan hari Senin 30 Maret 2020
akan lebih "seru", apakah kenaikan IHSG akan berlanjut yang sudah
menyentuh angka Rp 4.500-an yang sebelumnya sudah berada di sekitar harga IHSG
di Rp 3.900-an.
Mencari Capital Gain atau Dividen?
Siapapun
yang akan melakukan investasi di bursa efek, hanya memiliki dua tujuan atau
target utama, di samping ada yang lain yang bukan utama. Dan dengan dua tujuan
utama ini yang menentukan perilaku para investor, atau para "pemain
saham" di bursanefek.
Kedua tujuan utama itu adalah, pertama, mendapatkan
capital gain, dan atau kedua, mendapatkan dividen dari perusahaan yang sahamnya
dimiliki oleh investor.
Capital gain artinya keuntungan keuangan yang
didapatkan oleh pemegang saham karena selisih harga waktu membelinya dengan
harga pada saat menjualnya, di mana harga beli lebih kecil dari harga jual.
Kalau harga belinya lebih besar dari harga jualnya disebut sebagi capital loss.
Bila Anda mendengar istilah
"goreng-menggoreng" saham di bursa efek, biasanya tujuan utama mereka
adalah yang pertama, yaitu mencari capital gain. Kalau bisa dalam satu hari
bisa membeli tetapi bisa langsung menjual, asal selisih harga beli dan jual
memberikan capital gain setelah dikeluarkan semua biaya transaksi.
Kebiasaan ini mendorong pemain saham untuk melakukan
trik hit and run. Beli dan jual, jual dan beli, demikian
seterusnya. Soal apakah cara ini baik atau buruk, menguntungkan atau tidak, itu
tentu soal lain yang menarik untuk di diskusikan secara praktis.
Target yang kedua bila membeli saham di bursa adalah
untuk mendaptakan dividen atau keuntungan dari emiten, perusahaan yang sahamnya
dimiliki oleh investor.
Dividen itu merupakan keuntungan yang dibagikan oleh
perusahaan kepada pemegang sahamnya pada akhir tahun buku yang angka rupiah
perlembarnya akan diputuskan dalam Rapat Umum Pemegang Saham perusahaan.
Ini menjadi penting dimengerti bahwa ketika Anda
membeli saham suatu perusahaan, maka Anda dicatat sebagai pemilik sah dari
perusahaan itu yang kepemilikannya tergantung dari jumlah saham yang Anda
miliki dibandingkan dengan total saham yang dikeluarkan oleh perusahaan.
Ini bukan soal besar atau kecil, bahkan memiliki satu
lot saham, sama dengan 100 lembar saham, tetap saja Anda akan tercatat sebagai
pemilik perusahaan ini cadangan jumlah 100 lembar saham. Dan karenanya, sebagai
pemilik yang sah, maka semua hak kepemilikan akan didapatkan, termasuk deviden
yang akan dibagikan setiap akhir tahun buku berakhir. Bila dividen yang
dibagikan sebesar Rp 50,- per lembar, dan Anda memiliki 100.000 lembar saham,
maka dividen yang berhak Anda terima sebesar Rp 5.000.000.
Mau Jadi Trader atau
Investor?
Jadi, kalau diringkaskan maka berdasarkan dua tujuan atau target utama membeli
saham, terdapat dua kelompok ekstrim orang-orang yang melakukan investasi saham
di bursa efek. Pertama disebut sebagai trader, dan kedua disebut investor.
Pelaku yang berperan sebagai trader, tujuan utamanya
adalah mencari capital gain sebesar-besarnya dan secepat-cepatnya dengan cara
hit and run dan menggunakan trend harga saham dan volume transaksi saham
sebagai patokan untuk membuat keputusan apakah akan membeli atau menjual saham
tertentu.
Trader cenderung bermain di area "goreng
menggoreng" saham, yang memanfaatkan kecepatan dalam kencenderungan arah
pergerakan harga dan volume saham.
Sementara jenis pelaku kedua adalah sebagai investor,
yang tidak mengejar capital gain semata-mata, tetapi lebih mengejar keuntungan
atau dividen saham perusahaan sebagai indikator akan semakin meningkat nilai
investasinya pada saham pilihan itu.
Para investor akan melakukan investasi saham untuk
jangka waktu yang relatif panjang, dan bukan untuk jangka pendek apalagi melakukan hit
and run setiap hari dan mereka tidak melakukan goreng menggoreng
saham.
Kedua jenis pelaku investasi saham ini akan ikut
mempengaruhi dinamika gerak gerik dari harga saham, apakah cenderung naik atau
cenderung turun.
Pada keadaan yang normal, biasanya tidak terlalu
signifikan dampaknya bagi pergerakan IHSG, kecuali dalam keadaan tidak normal
seperti sekarang ini ketika wabah virus Covid-19 sedang mengganggu bursa,
maka trader ini akan ikut mengganggu IHSG.
Menjadi investor atau menjadi trader merupakan hal
yang biasa, dan menjadi keputusan dari setiap orang yang melakukan investasi di
bursa efek. Ada orang yang memang memiliki kesenangan menjadi trader, tetapi
biasanya lebih banyak yang memilih menjadi investor di bursa efek.
Kalau perusahaan efek yang mengelola dana nasabah
memilih menjadi trader akan sangat berisiko ketimbang menjadi
investor saja dengan jangka panjang dan memilih saham-saham yang memiliki
fundamental yang sehat, baik dan likuid adanya.
Kasus yang dialami oleh PT Asuransi Jiwasraya yang
melibatkan seorang BTj yang dikenal sebagai raja "goreng menggoreng"
di bursa efek Indonesia, merupakan contoh yang sangat baik tentang bahaya besar
kalau memilih menjadi trader dengan dana besar dan dana nasabah pula. Kalau
dana sendiri tentu itu soal lain, karena kalau rugi dia sendiri yang rugi.