Pada
akhirnya, Swiss menyepakati Perjanjian Perdagangan Bebas dengan Indonesia yang
ditandai dalam sebuah referendum pada 7 Maret 2021. Secara tidak langsung,
perjanjian perdagangan bebas ini sudah memberikan lampu hijau, akan terbukanya
peluang ekspor produk pertanian Indonesia ke Swiss. Salah satu yang paling
berpotensi besar adalah minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO). Tak
heran, bila kemudian imbas dari perjanjian perdagangan bebas Swiss – Indonesia
dianggap sebagai angin segar bagi industri CPO. Lantas, benarkah demikian ?
Kronologi
Perjanjian Perdagangan Bebas Swiss – Indonesia
Latar
belakang terlaksananya referendum Perjanjian Perdagangan Bebas, adalah
meluasnya isu tarif impor CPO di Swiss, bahkan masih menjadi perhatian di
kawasan Eropa. Secara histori sebenarnya perjanjian perdagangan bebas
antara Swiss dan Indonesia sudah terjalin sejak tahun 2018, bersama
dengan para anggota Asosiasi Perdagangan Bebas Eropa alias European Free Trade
Association (EFTA), yakni Islandia, Norwegia dan Liechtenstein. Bahkan
perjanjian juga disetujui oleh Parlemen Swiss pada tahun 2019 lalu.
Di
bawah perjanjian tersebut, kedua belah pihak – Swiss dan Indonesia sepakat
untuk memberlakukan pengecualian bagi produk-produk pertanian, khususnya untuk
melindungi produksi minyak bunga matahari dan minyak rapa (rapeseed
oil). Sedangkan untuk CPO, tarif impor tidak akan dihapus melainkan
hanya akan dikurangi sekitar 20% – 40%. Pengurangan ini pun hanya akan
diberikan untuk volume terbatas, yakni maksimal ±12.500 ton per tahun. Tak
sampai situ saja, para importir CPO ini juga harus bisa membuktian bahwa CPO yang
di impor diproduksi dengan cara yang berkelanjutan, agar memenuhi standar
lingkungan dan sosial.
Sayangnya,
hal tersebut tidak cukup kuat menahan isu seputar CPO yang terus terjadi –
hingga muncul isu baru untuk “Hentikan Minyak Sawit” yang mendapat sejumlah
dukungan. Tak urung hal ini menimbulkan kekhawatiran di hampir seluruh pasar
Swiss. Oleh karenanya, referendum pun kembali dilaksanakan…
Ya, per tanggal 7 Maret 2021, akhirnya Swiss menyetujui Perjanjian Perdagangan Bebas dengan Indonesia yang terwujud melalui referendum. Setelah para pemilih asal Swiss memberikan suara untuk mendukung Perjanjian Perdagangan bebas dengan Indonesia, dengan mengantongi suara setuju publik sekitar 51.7% suara dari 51% pemilih. Artinya, Swiss sebagai salah satu mitra dagang Indonesia, telah setuju untuk mengizinkan dan memberikan pembebasan bea masuk atas ekspor CPO asal Indonesia. Berdasarkan hasil referendum yang dilaksanakan pada Maret 2021 tersebut, rencananya tarif-tarif akan dihapuskan secara bertahap dari hampir semua ekspor terbesar Swiss ke Indonesia. Begitu pun sebaliknya, Swiss juga akan menghapus bea atas produk industri asal Indonesia. Dalam kasus ini, Swiss membutuhkan impor CPO asal Indonesia, karena CPO merupakan bagian bahan baku industri makanan dan minuman di sana.
Perjanjian
Perdagangan Bebas Swiss – Indonesia ditandai dengan Beruang dan Harimau
berpelukan. Sebagai lambang persahabatan kedua negara , Swiss – Indonesia.
Source : rm.id
Di
sisi lain, berdasarkan informasi yang disampaikan oleh Deputi Bidang Koordinasi
Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian – Musdhalifah
Machmud, kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Swiss ini sudah melalui
masa penjajakan panjang. Penjajakan itu pun dilakukan oleh kedua belah pihak,
antara Swiss dengan pemerintah Indonesia, beserta dengan para pengusaha CPO di
Indonesia. Hasilnya, Indonesia pun berhasil membuktikan kepada Swiss bahwa
perkebunan dan produksi CPO dalam negeri mampu memenuhi aspek sustainability yang
selama ini diisukan oleh Uni Eropa.
Isu-Isu
Terkait CPO Indonesia
Pertanyaan
berikutnya, isu-isu yang seperti apa yang beredar di Swiss dan Eropa terkait
dengan CPO asal Indonesia ini ?
Di
bagian atas tadi, sempat kita singgung terkait isu tentang CPO yang terus
beredar hingga muncul isu baru “Hentikan Minyak Sawit”. Buruknya isu-isu yang
berkembang tersebut justru mendapat sorotan dan didukung oleh sejumlah elemen
publik yang antara lain Partai Hijau, aktivis lingkungan dan LSM
anti-globalisasi Swiss. Mereka menilai produk CPO tidak bertanggung jawab atas
berkurangnya lahan hutan, terjadinya kebakaran di sejumlah titik, hingga adanya
eksploitasi pekerja. Akibatnya tidak ada lagi standar untuk melindungi
lingkungan, keselamatan, dan keselamatan masyarakat.
Tak
hanya itu, mereka juga menganggap bahwa referendum Perjanjian Perdagangan Bebas
ini juga akan menghancurkan hutan tropis, mempengaruhi produksi minyak rapeseed dan
minyak bunga matahari Swiss.
Berkenaan
dengan isu-isu CPO, kita juga sudah pernah membahasnya dalam artikel lain, di
mana pemerintah Indonesia sudah menempuh sejumlah upaya untuk memperluas pasar
ekspor CPO. Mulai dari melobi Uni Eropa agar mencabut larangan penggunaan CPO,
hingga melobi PM India Narendra Modi untuk menurunkan tarif bea masuk CPO..
Dampak
Positif Perjanjian Perdagangan Bebas Swiss – Indonesia
Meski
CPO asal Indonesia sempat berkembang menjadi isu-isu negatif seperti di atas.
Namun hal itu tidak sedikit pun mengurangi dampak positif dari perjanjian
perdagangan bebas Swiss – Indonesia yang akhirnya tercapai. Beberapa di
antaranya adalah :
- Menjadi katalis positif bagi harga jual CPO
Indonesia, setelah
selama ini CPO asal Indonesia mendapat penolakan dari Uni Eropa.
- Membuka pasar potensial yang lebih luas lagi ke
negara Eropa lainnya, karena secara tidak langsung sudah membuktikan
kalau CPO Indonesia diproduksi dengan cara yang berkelanjutan, dan
memenuhi standar lingkungan, serta sosial. Harapannya, ini bisa menjadi
pintu masuk yang memberi pengertian kepada negara tetangga lain di Uni
Eropa bahwa CPO asal indonesia memang layak dan sesuai dengan green
economy.
- Memberi kesempatan pada Indonesia untuk menyasar
pasar Inggris. Seperti yang kita tahu, Inggris adalah satu negara
yang sudah resmi keluar dari Uni Eropa, dan kondisi tersebut membuka
peluang ekspor CPO Indonesia ke Inggris.
- Perjanjian perdagangan bebas Swiss – Indonesia juga
kembali meningkatkan hubungan bilateral kedua negara. Meskipun hanya menjadi mitra
ekonomi ke – 44 Swiss, dan untuk mitra pasar ekspor terbesar ke – 16 di
Asia.
Angin
Segar bagi Industri CPO ?
Dengan disepakatinya Perjanjian Perdagangan Bebas antara Swiss dan Indonesia. Sudah tentu, hal ini akan membuka potensi pasar yang lebih besar dalam perdagangan bebas atas produk-produk kedua negara. Terutamanya bagi industri CPO Indonesia, di mana hasil olahan CPO ini pun banyak digunakan untuk kebutuhan kosmetik, produk makanan, hingga ke bahan bakar nabati…
Source
: databoks.katadata.co.id
Dari
data di atas, bisa dilihat bahwa produksi CPO Indonesia di sepanjang tahun 2020
mencapai 51.6 juta ton, angka ini terbilang turun sekitar 1.1% dari tahun
sebelumnya. Hal ini dikarenakan jumlah produksi yang terdiri dari Crude
Palm Oil (CPO), Crude Palm Kernel, dan volume impor yang juga mengalami
penurunan pada kuartal IV-2020. Meski dari sisi produksi mengalami penurunan,
namun dari sisi konsumsi CPO justru meningkat sekitar 3.6% menjadi 17.3 juta
ton sepanjang tahun 2020. Peningkatan konsumsi CPO, juga sejalan
dengan meningkatnya penggunaan biodiesel. Apalagi pemerintah
berkomitmen untuk tetap melanjutkan program B30 di tahun ini, dengan perkiraan
konsumsi biodiesel bisa mencapai 9.2 juta atau setara 8 juta ton CPO.
Gabungan
Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) juga memprediksikan total produksi dan
konsumsi CPO yang ditaksir bisa mencapai ±53.9 juta ton produksi, dan ±18.5
juta ton konsumsi CPO pada tahun 2021 ini. Dengan begitu, bukan tidak mungkin
referendum Perjanjian Perdagangan Bebas Swiss – Indonesia juga akan menjadi
angin segar bagi industri CPO Indonesia. Terutamanya untuk emiten-emiten
produsen CPO, seperti PT Tunas Baru Lampung Tbk (TBLA), PT Salim Ivomas Pratama
Tbk (SIMP), dan PT London Sumatera Indonesia Tbk (LSIP), serta emiten CPO
lainnya…
Bicara
tentang prospek industri CPO, bukan hanya mengenai perjanjian perdagangan bebas
Swiss – Indonesia yang sudah tercapai. Tapi, kalau Anda ingat beberapa waktu
lalu, kita juga sudah pernah membahas tren kenaikan harga CPO yang terjadi
sejak awal tahun 2021 hingga menyentuh level MYR 3400/ton. Hal ini juga menjadi
katalis positif bagi industri CPO…
Kesimpulan
Perjanjian Perdagangan Bebas Swiss – Indonesia
Perjanjian
perdagangan bebas Swiss – Indonesia yang dilaksanakan pada awal Maret 2021
kemarin, menjadi penanda bahwa Swiss yang merupakan bagian dari Uni Eropa telah
setuju memberikan izin dan membebaskan bea masuk atas ekspor CPO asal Indonesia
ke negara mereka. Tercapainya perjanjian ini pun, telah melewati masa
penjajakan melalui koordinasi antara Swiss dan pemerintah Indonesia, beserta
dengan para pengusaha CPO Indonesia. Adapun hasil penjajakan menyebutkan, bahwa
Indonesia berhasil membuktikan kepada Swiss bahwa perkebunan dan produksi CPO
dalam negeri mampu memenuhi aspek sustainability yang selama
ini diisukan oleh Uni Eropa.
Dengan perjanjian ini, maka kini pasar Swiss telah terbuka untuk menerima CPO asal Indonesia. Bahkan juga berdampak positif bagi industri CPO Indonesia, mulai dari : 1) Menjadi katalis positif bagi harga jual CPO Indonesia, 2) Membuka pasar potensial yang lebih luas lagi ke negara Eropa lainnya, 3) Memberi kesempatan pada Indonesia untuk menyasar pasar Inggris, 4) Kembali meningkatkan hubungan bilateral kedua negara. Tentunya hal ini sudah menciptakan optimisme di kalangan pengusaha CPO, terutama bagi yang melakukan ekspor CPO karena tidak kehilangan demand dari pangsa pasar internasional.
Artikel ini telah terbit di:
https://rivankurniawan.com/2021/04/07/perjanjian-perdagangan-bebas-swiss-indonesia/