Pada pembukaan acara Ijtima’ Sanawi dan Semiloka 2019 yang digelar di Bogor pada tanggal 2 Oktober 2019, Menteri keuangan yang juga merangkap sebagai ketua Ikatan Asosiasi Ekonomi Islam (IAEI), Sri Mulyani memberikan sambutannya. Dalam Sambutannya, Sri Mulyani Menyoroti perkembangan ekonomi syariah Indonesia dalam tiga dekade terkahir.
Dekade pertama ekonomi syariah ditandai dengan berdirinya bank syariah pertama pada tahun 1991, yaitu Bank Muamalat. Kemudian disusul oleh asuransi syariah atau Takaful Keluarga pada 1994. Dekade kedua, ditandai dengan diluncurkannya Jakarta Islamic Index (JII) pada tahun 2000, yang selanjutnya surat utang negara syariah pertama juga ikut diterbitkan pada tahun 2008. Dekade ketiga memperlihatkan daya saing Indonesia di pasar keuangan syariah global. Pada dekade ini, Indonesia dipandang unggul, menurut Global Islamic Economy Report 2018 – 2019 Indonesia menduduki peringkat ke-2 sektor halal fashion, dalam sektor Halal Travel Indonesia menduduki peringkat ke-4, sedangkan untuk sektor Islamic Finance Indonesia masih menduduki peringkat ke-10.
Dekade ketiga ini juga menandai 11 tahunnya penerbitan Sukuk. Menurut Sri Mulyani, sudah ada 7 jenis Sukuk yang diterbitkan negara, diantaranya; Surat Perbendahaarn Negara (SBN Syariah), Islamic Fixed Rate, Project Based Sukuk, Sukuk Dana Haji Indonesia, Sukuk Negara Indonesia, Sukuk Negara Rital Dan Sukuk Tabungan.
Saat ini jumlah sukuk adalah 18% dari seluruh surat utang negara di Indonesia. Dalam kurun 2008-2019 penerbitan instrument sukuk negara telah mencapai 1191,5 triliun. Yang masih outstanding adalah 714,91 triliun, sisanya sudah dibayar. “Kalau ada masyarakat yang tanya ke saya, itu utang semua bu?, Jawabannya, iya” ucapnya. Menurutnya masayarakat tidak perlu kaget dengan jumlah utang negara, karena harus dilihat juga nilai yang sudah dibayar. “Masyarakat itu biasanya emosional rather than rational kalau sudah bicara soal utang, padahal instrumen surat utang negara itu adalah upaya diversifikasi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam mencari tempat untuk berinvestasi dan di sisi lain ini adalah startegi pemerintah untuk mendapatkan pembiayaan”. Jadi menurutnya, penerbitan sukuk itu bukan karena pemerintah doyan ngutang, tapi adanya kebutuhan dari masayarakat maupun pemerintah itu sendiri.
Di negara growing middle class yang mana masyarakatnya memiliki sisa pendapat, pasti mereka membutuhkan wadah untuk investasi. Jika dulu instrumen untuk menyimpan uang adalah tabungan, deposito, tanah atau emas maka negara akan tertatih-tatih karena kewalahan dengan masyarkatnya yang sudah berkembang. Karena dengan kuatnya basis investor masyarakat dalam negeri, maka ekonomi negara akan lebih kuat dan memiliki daya tahan yang tinggi atas goncangan ekonomi global.
Sri Mulyani Berharap, banyak masyarakat mau menyebarkan informasi positive terkait instrument investasi dan pembiayaan di industri jasa keuangan syariah, bukan malah memprovokasi.