Akhirnya 18 lembaga dibubarkan oleh Jokowi sebagai konsekuensi dari perubahan strategi "menyelamatkan" Indonesia dari ancaman potensi resesi ekonomi tahun 2020. Komite atau Satgas Penanganan masih berjuang menurunkan laju wabah virus corona yang masih terus meningkat dari hari ke hari, serta penyebaran yang semakin meluas di seluruh wilayah Indonesia. 

Apapun alasannya, lembaga-lembaga yang selama ini berada dalam cakupan Gugus Tugas Percepatan Penangan Covid-19 tidak mampu menurunkan laju pertumbuhan kasus positif Covid-19 di Indonesia yang terus meningkat. 

Berdasarkan data yang dirilis oleh Covid-19 per tanggal 26 Juli 2020,dengan pertambahan 1.868 kasus, kini jumlah total telah mencapai diangka 98.778, nyaris menyentuh angka 100.000 yang menyapa seluruh provinsi.

Kinerja gugus tugas dengan anggaran yang yang tersedia begitu besar sangat tidak sebanding. Sementara terjangan wabah corona terus saja melaju tanpa pilih buluh, tanpa pilih wilayah dan juga tanpa mengenal waktu. 

Ini sangat membahayakan. Tidak saja karena menjadi masalah kritis di dalam negeri ini, tetapi juga akan menjadi "sorotan" dunia yang memberi perhatian serius pada pandemi Covid-19.

Dilema itu Sangat Membahayakan

Dilema yang sedang dihadapi oleh Indonesia saat ini sangat berbahaya apabila waktu yang tersedia tidak mampu dikelola dengan tepat dan cepat. Ibarat sebuah kapal yang sedang melintas sebuah jalur berisiko. 

Di sisi sebelah kanan adalah pusaran air yang sangat kuat yang bisa mengisap dan menghancurkan kapal itu bila tergulung olehnya. Sementara di sebelah kirinya adalah sebuah lembah yang sangat dalam yang siap menjatuhkan si kapal bila oleng dan salah arah sedikit saja. 

Dan kapal tidak boleh berhenti karena bisa hancur dengan sisi kiri atau kanan yang mengancamnya. Si nakhoda kapal, harus melewati dengan penuh perhitungan yang super matang dan tepat.

Kini Indonesia harus mampu mengerem laju pertumbuhan kasus positif virus corona. Kalau tidak maka protokol kesehatan akan mendorong terkekangnya aktivitas ekonomi, dan pada akhirnya akan menjadi faktor kuat penyebab perlambatan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2020 ini.

Pada sisi lain, perlambatan pertumbuhan ekonomi yang tidak bisa dikontrol dengan cermat akan membuka peluang Indonesia memasuki pintu resesi ekonomi. Dampaknya pasti akan menyentuh keseluruhan dimensi kehidupan masyarakat. Dan dipastikan, untuk melakukan recovery ekonomi membutuhkan waktu yang tidak singkat dan sumber daya yang memadai.

Ketidakmampuan menghentikan pertumbuhan laju pandemi corona akan memperlambat pertumbuhan ekonomi, sementara pembukaan kegiatan ekonomi secara menyeluruh di seluruh wilayah akan menjadi pendorong laju pertambahan kasus Covid-19 lebih tinggi, dan klaster baru akan bermunculan di mana-mana.


Potensi Resesi Ekonomi Indonesia

Isu resesi ekonomi global saat ini telah menjadi pengikat seluruh persoalan yang sedang dihadapi oleh oleh negara-negara di dunia. Ramalan pertumbuhan ekonomi global dari sejumlah sumber mengarahkan akan terjadi resesi ekonomi dunia. 

Dengan estimasi pertumbuhan negatif ekonomi sejagad hendak memperingati semua pemimpin negara-negara untuk tidak lengah. 

Negara tetangga Indonesia, yaitu Singapura telah memasuki resesi ekonomi setelah mengalami kontraksi ekonomi yang berat berturut-turut dua kuartal, dan berita-berita terakhir menjelaskan kalau Korea Selatan juga menyusul Singapura. Prediksi global memperkirakan sejumlah negara di wilayah Eropa sangat potensial segera memasuki masa resesi.

Orang kunci dan nomor satu di Indonesia, Joko Widodo, mencermati dan memahami betul apa yang sedang mengancam Indonesia, yaitu potensi resesi ekonomi di tahun 2020 ini. 

Dia terus berpikir keras untuk tidak masuk dalam "mulut resesi" ini, karena sungguh sangat menyakitkan bagi masyarakat keseluruhan, terutama rakyat miskin yang angkanya terus bertambah, dan akan terus melewati angka 26.42 juta pada Maret 2020 (BPS, Maret/20).

Pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 2,97% pada kuartal pertama tahun 2020, menjadi berkah dan modal Indonesia untuk mengelola potensi terjadinya resesi. Kuartal II diperkirakan tidak lagi positif, dan banyak ramalan yang menunjuk angka minus 4% pertumbuhan ekonomi. Taruhannya ada di kuartal 3 dan tentu juga kuartal 4.

Artinya, bila kuartal III pertumbuhan ekonomi Indonesia berkontraksi seperti kuartal II, maka Indonesia juga memasuki resesi ekonomi. Sesungguhnya, bagian inilah yang tidak dikehendaki oleh Jokowi. Karena kuartal III saja sudah berjalan sebulan, dan tersisa 2 bulan, yaitu Agustus dan September 2020.

Menjadi pertanyaan kunci adalah mampukah pemerintahan Jokowi dalam dua bulan ke depan menahan laju pertumbuhan agar tidak berada dibawah nol, alias negatif?


Dilema Komite PEN

Betul sekali, Presiden Jokowi tidak mau diganggu oleh banyak birokrasi yang menghambat implementasi semua kebijakan stimulus yang sudah diluncurkan, mulai dari stimulus 1, stimulus 2, stimulus 3, dan stimulus 4 dengan total budget berada di angka 695,2 triliun rupiah.

Sangat bisa dimengerti mengapa Presiden Jokowi memilih Erick Thohir sebagai Menteri BUMN untuk menjadi CEO atau Ketua dari Komite Pemulihan Ekonomi Nasional (Komite PEN) yang sekaligus juga sebagai Ketua Satgas Penangan Covid-19. 

Sederhana saja pertimbangannya, agar kecepatan dan ketetapan gerakan implementasi penanganan wabah corona sekaligus pemulihan dan transformasi ekonomi nasional dapat dilakukan dengan cara seksama dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

Pengalaman selama Maret hingga Juli 2020, dengan sekitar 18 lembaga yang terlibat dalam Gugus Tugas Percepatan Covid-19 tidak mampu menghentikan laju corona ini. 

Melihat urgensi kebutuhan strategis, sangat besar kemungkinan bahwa Agustus 2020 akan dibuka secara menyeluruh kegiatan ekonomi di seluruh wilayah Indonesia. 

Walaupun belum 100% kecepatannya tetapi sektor utama akan menjadi fokus perhatian, utamanya yang bisa mengeksekusi implementasi semua kebijakan stimulus pemerintah. Agar budget yang sudah tersedia dapat diserap oleh aktivitas ekonomi.

Pembayaran gaji ke 13 sebesar rp 28,5 triliun pada bulan Agustus 2020, seperti yang sudah dijelaskan oleh Menkeu, merupakan contoh konkrit mendorong pertumbuhan ekonomi. Artinya, dengan dana sebesar itu, akan bermultiplier dengan efek domino bagi aktivitas ekonomi masyarakat. 

Demikian juga penyaluran bantuan sosial program keluarga harapan sebesar Rp 8,3 triliun, ada sekitar 10 triliun bagi kartu pekerja, juga tersedia 32,4 triliun bantuan tunai langsung atau BLT, Dana Desa mencapai 31,8 triliun. Masih banyak lagi yang melibatkan pihak lembaga-lembaga ekonomi seperti perbankan untuk mendorong habis-habisan peranan sektor UMKM.

Secara common sense, logika orang awam, juga pesan-pesan kuat Jokowi kepada publik, harusnya dana-dana itu mampu menggenjot aktivitas ekonomi Indonesia yang pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi di atas nol persen. 

Harus bisa menyelamatkan pertumbuhan ekonomi pada kuartal III kalau Komite PEN yang dikomandoi oleh Erick Thohir benar-benar bekerja dengan kecepatan penuh tanpa lelah dan henti. 

Sebagai indikator sederhana, pada kuartal I bahkan sampai bulan April 2020, Indeks Harga Saham di Bursa Efek Indonesia, dari 9 sektor yang ada, ada 7 sektor semua minus sejalan dengan IHSG yang berkontraksi. Tetapi ada dua sektor yang positif yaitu Consumer Good dan Basic Industry (Idex).

Ini artinya, bahwa sebetulnya pertumbuhan ekonomi Indonesia didominasi oleh sektor barang-barang konsumsi. Inilah yang menjadi kekuatan ekonomi Indonesia dibandingkan dengan negara lain seperti Singapura misalnya. Sebab, dengan populasi sebanyak 270-an juta orang, menjadi modal pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan memenuhi kebutuhan pokok masyarakat itu.

Lihat Singapura yang penduduknya sama dengan jumlah penduduk DKI Jakarta, maka pertumbuhan ekonominya tidak bisa mengandalkan sektor konsumsi, tetapi sektor jasa, dan eksport lainnya.


Covid-19 Gelombang II

Dalam beberapa kali kesempatan, muncul pemahaman yang sangat kuat bahwa "jangan bicara Covid-19 gelombang dua di Indonesia, karena gelombang I saja masih belum nampak tanda-tanda berhenti atau menurun". 

Memang agak ironis juga, karena ada sejumlah negara memperlihatkan kebangkitan mereka setelah berhasil mengendalikan laju pertumbuhan Covid-19. Cina dan India misalnya, sementara Indonesia masih terus terkesima menyaksikan angka pertumbuhan virus ini yang rata-rata per hari sudah berada di atas angka 1500-an.

Christovita Wiloto dalam status sosial medianya menulis : “Cina sudah bangun. India sudah bangun. Indonesia masih susah bangun, karena elitenya masih ribut untuk kepentingan perutnya sendiri, rakyatnya masih mudah dihasut, anak mudanya belum fokus melakukan hal-hal produktif, sibuk gosip, politik negatif dll"

Betulkah Jokowi seakan bekerja sendiri tanpa support penuh dari elit-elit politik yang hanya sibuk mengurus dirinya sendiri dan tidak peduli bagaimana ganasnya efek virus corona memperlambat pertumbuhan ekonomi Indonesia?

Kalau ini yang akan terjadi maka gelombang I Covid-19 nampaknya akan terus berjalan tanpa diketahui kapan berhenti bertumbuh, dan grafiknya menukik ke bawah. Ini artinya, masyarakat akan berjuang sendiri-sendiri di tengah ancaman penularan cirus yang masih "misterius" ini. 

Tapi, tunggu dulu! Publik masih menunggu gebrakan yang akan dilakukan oleh Komite Satgas di bawah Menteri BUMN Erick Thohir untuk memadukan dua langkah besar yang sangat dilematis ini, yaitu membuka kegiatan ekonomi secara masif tetapi ancaman laju Covid-19 terus menaik. Atau melemahkan laju Covid-19 tetapi potensi ancaman resesi ekonomi 2020 sedang menunggu!

Memang sangat dilematis. Tetapi sikap optimistis akan menjadi energi tiada batas yang mampu menembus segala kebekuan bahkan dilema sesulit apapun.

Selamat bekerja Erick Thohir bagi negeri ini!




Artikel ini telah diterbitkan di

https://www.kompasiana.com/yupiter/5f1d6e26d541df767d6752b2/mengukur-dilema-potensi-resesi-vs-gelombang-ii-covid-19?page=all#sectionall