Tidak selamanya saham syariah dapat diperjual-belikan. Emiten yang telah tercatat dan diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia (BEI) bisa keluar atau dikeluarkan apabila terjadi kondisi-kondisi tertentu pada emiten.

Di pasar saham terdapat aksi korporasi yang dikenal dengan nama saham delisting, yaitu penghapusan saham yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI). Artinya, saham yang sebelumnya diperdagangkan di BEI akan dihapuskan dari pencatatan di bursa, sehingga, sahamnya tidak dapat lagi diperjual belikan secara bebas di pasar modal. Penghapusan ini bisa bersifat sukarela (voluntary delisting)  maupun paksaan (force delisting).

Delisting sukarela (voluntary delisting) adalah delisting saham secara sukarela yang diajukan oleh emiten sendiri karena alasan tententu. Biasanya delisting ini terjadi karena emiten menghentikan operasi, bangkrut, terjadi merger, tidak memenuhi persyaratan otoritas bursa, atau ingin menjadi perusahaan tertutup. Kerap kali delisting sukarela mengindikasikan kesehatan keuangan perusahaan atau tata kelola perusahaan yang kurang baik. Selain itu, delisting juga bisa terjadi karena volume perdagangan saham yang rendah. Dalam delisting sukarela ini, pemegang saham akan menerima hak-haknya karena ada kewajiban emiten untuk menyerap saham di publik pada harga yang wajar.

Contoh delisting saham secara sukarela adalah seperti yang terjadi pada PT Danayasa Arthatama (SCBD). Dalam kasus Danayasa Arthatama dengan kode perdagangan SCBD, perusahaan ini resmi mengundurkan diri secara sukarela dari Bursa Efek Indonesia efektif pada Senin, 20 April 2020. Suspensi saham SCBD di pasar reguler telah terjadi sejak 28 Juli 2017. Sebelum dihentikan, harga saham perusahaan real estate milik Tomy Winata itu berada di level Rp 2.700 per lembar.

Dilansir dari katadata, berdasarkan data RTI Infokom, per 30 November 2019, sebanyak 82,41% saham SCBD dikuasai PT Jakarta International Hotels & Development Tbk. Lalu, sisa saham sebanyak 8,87% dipegang PT Kresna Aji Sembada, 8,57% oleh publik, dan 0,15% merupakan saham treasury.

Dalam kasus SCBD, Kresna Aji Sembada telah mengumumkan akan melakukan tender sukarela membeli 2,13 juta saham milik public. Saham itu setara 0,07% dan akan dibeli dengan harga Rp 5.565 per lembarnya. Total nilai tender ini mencapai Rp 11,85 miliar. Harga yang ditawarkan tersebut merupakan premium. Nilainya dua kali lipat dari harga SCBD saat perdagangannya dihentikan Bursa pada 2017 lalu. Harga itu juga lebih besar 22,75% dari yang dikeluarkan Penilai Independen, yaitu Rp 4.534 per lembarnya.

Selanjutnya, delisting paksa (force delisting) terjadi ketika perusahaan publik melanggar aturan dan gagal memenuhi standar keuangan minimum yang ditetapkan oleh otoritas Bursa. Delisting ini biasanya terjadi karena emiten tidak menyampaikan laporan keuangan, keberlangsungan bisnis perusahaan dipertanyakan, dan tidak ada penjelasan selama 24 bulan. Ketika perusahaan tidak memenuhi aturan, maka BEI akan mengeluarkan peringatan ketidakpatuhan. Jika hal ini berlanjut, maka Bursa dapat menghapus saham itu dari pasar saham.

Ada dua hal yang bisa dilakukan investor ketika sahamnya terkena force delisting. Pertama, Investor bisa menjual saham tersebut di pasar negosiasi. Pasar negosiasi adalah pasar di mana efek diperdagangkan secara negosiasi atau tawar menawar. Negosiasi dilaksanakan secara individu, namun proses jual dan beli tetap harus melalui perusahaan sekuritas. Pasar negosiasi punya aturan main tersendiri yang tentunya tetap dibawah pengawasan bursa.

BEI akan memberikan kesempatan dengan membuka suspensi saham yang akan delisting dalam waktu tertentu, biasanya beberapa hari. Namun, suspensi hanya dibuka di pasar negosiasi. Di dalam rentang waktu tersebut investor disarankan menjual saham yang akan delisting paksa. Celakanya saham yang akan delisting biasanya adalah perusahaan bermasalah yang harga sahamnya anjlok di pasar negosiasi. Meskipun dijual belum tentu ada yang mau membeli.

Sebagai contoh saham Truba Manunggal dengan kode perdagangan TRUB delisting di 12 September 2018. Harga sahamnya di pasar reguler adalah Rp 50 (tersuspen). Investor bisa menjual sahamnya di pasar negosiasi sampai tanggal 10 September. Tetapi ternyata, harga di pasar negosiasi hanyalah 1 rupiah per lembar saham.

Kedua, Investor bisa membiarkan sahamnya. Beberapa perusahaan yang delisting biasanya tetap menjadi perusahaan publik dan bisa relisting lagi walaupun kecil kemungkinannya. Saham milik investor masih akan tetap ada. Hanya saja biasanya perusahaan yang delisting paksa adalah perusahaan bermasalah, dan saham tidak ada nilainya lagi.

Untuk menghindari kerugian-kerugian akibat delisting paksa, investor harus memilih saham perusahaan yang memiliki fundamental yang baik sejak awal. Saham-saham syariah dengan fundamental yang baik dan termasuk golongan Big Cap adalah  saham-saham yang tergabung dalam Indeks JII (Jakarta Islamic Index). Tentunya tidak menutup kemungkinan jika saham-saham syariah JII juga bisa melakukan delisting. Namun, kecil kemungkinan saham syariah JII terkena delisting paksa.



Referensi:

https://www.kompasiana.com/yunianggr/5e79fba9d541df2ef15fa2b2/saham-delisting-apa-penyebab-terjadinya-saham-delisting?page=2 

https://katadata.co.id/berita/2020/04/20/scbd-resmi-delisting-apa-saja-penyebab-saham-didepak-dari-bursa

http://www.juruscuan.com/investasi/895-saham-delisting-apa-yang-sebaiknya-dilakukan-investor 




Artikel ini telah diterbitkan di

https://akucintakeuangansyariah.com/bisakah-saham-syariah-delisting/