Dalam kacamata publik, asuransi dipandang sebagai bisnis pemindahan risiko (transfer of risk). Dimana risiko dipindahkan dari tertanggung (peserta asuransi) kepada pihak perusahaan asuransi yang bertindak sebagi penanggung di dalam perjanjian asuransi tersebut. Sebagai konsekwensi dari adanya perjanjian pengalihan risiko tersebut, peserta membayarkan sejumlah uang sebagai premi asuransi kepada perusahaan asuransi, sedangkan konsekwensi bagi perusahaan asuransi adalah tanggung jawab untuk membayarkan sejumlah uang sebagai dana klaim asuransi kepada peserta apabila terjadi sesuatu keadaan seperti yang diperjanjikan di dalam polis asuransi.

Bagi sebagian masyarakat, model transfer of risk dinilai tidak sesuai dengan prinsip syariah. Oleh karena itu, para pegiat keuangan syariah merasa terpanggil untuk membuat alternatif model asuransi lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Pertanyaannya, sejauh mana anggapan sesuai syariah ini dapat dipertanggungjawabkan?

Memang betul, penilaian bahwa sesuatu hal sesuai dengan prinsip syariah tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang. Hal ini penting untuk menjaga ke-sahih-an penilaian yang diberikan, sehingga masyarakat betul-betul merasa yakin dan terlindungi dari penilaian yang tidak semestinya.

Di Indonesia, pihak yang memiliki otoritas untuk melakukan penilaian terhadap kesesuaian terhadap prinsip syariah dilaksanakan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI). Dalam praktiknya, DSN MUI mengeluarkan fatwa sebagai jawaban terhadap permasalahan publik yang muncul. Fatwa DSN MUI ini yang menjadi pedoman bagi pelaku industri, regulator, masyarakat luas maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan dalam menjalankan usaha asuransi syariah. Bahkan, tidak jarang substansi fatwa DSN MUI ini oleh OJK dituangkan ke dalam regulasi formal, sehingga memiliki kekuatan hukum yang lebih kuat dan mengikat.

Dalam praktik bisnis asuransi, DSN MUI mengeluarkan sejumlah fatwa sebagai pedoman bagi operasionalisasi bisnis asuransi syariah. Fatwa pertama dan sekaligus sebagai fatwa induk asuransi syariah adalah fatwa DSN MUI No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah.

konteks tersebut, DSN-MUI dibutuhkan untuk memberikan masukan kepada pelaku industri tentang mekanisme bisnis asuransi yang sesuai dengan prinsip syariah. Setelah melalui proses ijtihad, DSN-MUI mulai mengeluarkan fatwa No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah. Dalam fatwa ini, diperkenalkan model risk sharing antar sesama peserta dengan menggunakan akad tabarru’ sebagai basis utama penyelenggaraan asuransi syariah. Berbeda dengan model risk transfer dalam asuransi konvensional yang berbasiskan jual beli risiko, model risk sharing dalam asuaransi syariah berbasiskan kerjasama saling tolong menolong antar sesama peserta asuransi syariah. Model risk sharing ini kemudian diadopsi oleh semua pelaku industri perasuransian syariah di Indonesia, dan masih dipertahankan sampai sekarang.




Artikel ini telah diterbitkan di

https://akucintakeuangansyariah.com/kedudukan-fatwa-dsn-mui-dalam-operasionalisasi-asuransi-syariah/