“Twenty years from now you will be
more disappointed by the things that you didn’t do than by the one you did
do...” - Mark Twain
Dua tahun terakhir ini, pasar modal
dan khususnya Bursa Efek Indonesia terasa lebih ingar bingar. Sejak Agustus
2015 dengan mulai diluncurkannya saluran televisi khusus bursa, IDX Channel,
satu di antara 2 saluran televisi yang dimiliki oleh sebuah bursa efek di
dunia, terasa perlahan keramaian mulai menyebar. Siaran langsung dari pagi
sampai sore dilakukan dari lantai bursa, termasuk siaran langsung acara
pembukaan perdagangan bursa yang tiba-tiba bukan lagi jadi acara “sakral”.
Emiten, pelaku pasar, berbagai komunitas, perguruan tinggi, pejabat pusat dan
daerah bisa berdiri di atas panggung, menekan telapak tangannya untuk menandai
pembukaan pasar.
Lalu secara “berani” pada bulan
November 2015, Bursa Efek Indonesia memulai kampanye nasional “Yuk Nabung
Saham”. Disebut berani, karena dengan segala pro kontra, khususnya terkait kata
“nabung”, yang seharusnya untuk para kontrarian baik adanya menyimak kembali
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Tetapi bagaimanapun, khafilah tetap berlalu.
Sedangkan konteks “nasional” tentu terdengar terlalu gagah untuk ukuran BEI
yang “sekecil” itu. Namun, sekali lagi “the show must go on” dan
genderang di seluruh negeri harus ditabuh.
Kampanye Yuk Nabung Saham ini
menandai “kegaduhan” yang lebih besar. Pendirian kantor perwakilan di setiap
provinsi terus dikibarkan, hingga saat ini telah hadir di 26 ibukota provinsi.
Sambil menyusun waktu untuk mendirikan dan meresmikan di beberapa ibukota
provinsi tersisa, melengkapi total 34 provinsi. Anggota Bursa tanpa dibatasi
dipersilakan untuk bergabung di kantor perwakilan, bahu membahu dengan BEI
dalam aktivitas pemasaran. Galeri investasi, yang merupakan kerja sama tiga pihak, dengan perusahaan
sekuritas dan perguruan tinggi, satu-satunya konsep yang ada di dunia, menjadi
salah satu program literasi dan inklusi yang paling aktif dan paling
diandalkan. Dalam dua tahun, berdiri tidak kurang dari 150 galeri investasi,
lengkap dengan kelompok studinya. Artinya setiap minggu, bahkan kurang, berdiri
satu galeri investasi di salah satu kampus di Indonesia, menjadikannya lebih
dari 300 saat ini. Dimana saja, dari ujung ke ujung negeri ini, dari kampus di
kota besar hingga yang letaknya di pelosok daerah. Beberapa kampus bahkan
lengkap dengan rekor MURI untuk pencatatan jumlah investor terbanyak, baik
saham maupun reksa dana, baik konvensional maupun syariah.
Kegiatan pemasaran dilakukan secara
sangat masif. Iklan media elektronik dan cetak, iklan media outdoor dan indoor,
membanjiri laman-laman sosial media, hanya untuk membuka cakrawala berpikir
masyarakat, saatnya berinvestasi. Kerja sama
dilakukan dengan berbagai pihak. Selain kampus dan perusahaan efek, juga dengan
para perusahaan tercatat, kantor swasta dan pemerintah, termasuk berbagai
komunitas, baik yang terkait dengan bidang keuangan maupun yang sama sekali
tidak terkait. Dalam setahun tidak kurang dari 3.000 kegiatan sosialisasi,
forum, seminar, sekolah pasar modal, expo, dan kegiatan tatap muka
dilakukan. Tak heran akhirnya muncul ratusan komunitas investor pasar modal di
seluruh negeri, dengan dukungan sarana on line masing-masing dan
pertemuan off line yang dilakukan berkala.
Hingga bulan September tahun ini
Bursa mencatat jumlah investor terus meningkat dan telah menembus angka
600.000. Itu hanya untuk investor saham. Sedangkan untuk investor reksa dana, single
ID, yang artinya tidak terjadi duplikasi dengan investor saham tadi, juga
mengalami peningkatan pesat luar biasa, mencapai lebih dari 500.000. Saatnya
kita sekarang menyebut jumlah investor pasar modal kita dalam satuan juta.
Tidak perlu khawatir berlebihan bahwa itu hanya sekedar angka kosong, bahwa
Bursa hanya mengejar angka. Karena Bursa sesungguhnya menaruh perhatian yang
sama besar, kalau tidak mau dikatakan lebih besar, terhadap keaktifan investor.
Jumlah investor saham yang bertransaksi bulanan - semangat Yuk Nabung Saham
untuk berinvestasi secara rutin - secara paralel juga mengalami peningkatan,
menjadi sekitar 100.000, sedang yang bertransaksi tahunan menjadi lebih dari
200.000, naik sekitar 20% dibanding tahun 2016. Tentu masih banyak pekerjaan untuk
mengaktifkan “investor tidur” kita, dan BEI menaruh prioritas tinggi untuk itu.
Dari sisi “supply”, membawa
semangat “tiada hari tanpa ketemu calon emiten”, berdiri 6 kantor pusat
informasi go public di beberapa kota besar Indonesia, menerima setiap saat
perusahaan yang ingin tahu lebih jauh mengenai go public. Tidak hanya
menunggu bola, BEI bahkan jauh lebih aktif menjemput bola. Mengadakan pertemuan
one on one dengan perusahaan-perusahaan, ataupun dengan
perusahaan-perusahaan dalam satu grup usaha. Mengadakan kegiatan seminar go
public di banyak daerah, Jawa dan luar Jawa. Mengadakan kegiatan sosialisai
bekerja sama dengan kamar dagang dan himpunan pengusaha muda, untuk para
anggotanya, serta bekerja sama dengan kantor-kantor akuntan publik dan perbankan,
untuk para client dan nasabahnya. Sampai dengan tulisan ini, tercatat 26
perusahaan baru - termasuk satu start up pertama di antaranya - melantai
di BEI, dari total target 35, tertinggi yang pernah dicanangkan. Jauh
meninggalkan jumlah IPO baru tahun ini di negara-negara tetangga.
Transaksi perdagangan saham mencetak
rekor-rekor tertingginya, dari nilai, volume dan frekuensi transaksi. Indeks
harga saham gabungan terus menerus mencetak rekor sejarah baru. Kalau tahun
2016, indeks mengalami kenaikan 15%, hingga akhir September 2017 ini, indeks
tercatat naik 11%. Satu catatan kecil menarik dibalik kenaikan indeks tahun
ini. Investor asing tercatat sejauh ini melakukan penjualan bersih 10 triliun
rupiah. Namun indeks toh tetap positif. Tidak pernah dalam setidaknya satu
dasawarsa terakhir bursa efek negeri ini, ketika investor asing net sell sepanjang
tahun dan bursa tetap hijau. Selamat untuk Anda, Investor Indonesia!
Ingar bingar biasanya diperlukan dan menandai sebelum dimulainya pesta sesungguhnya. Semoga kita semua tidak ketinggalan menikmati pesta sesungguhnya itu. Kapan? Entah. Mungkin nanti dua puluh tahun lagi. Dan semoga nanti dua puluh tahun lagi kita tidak ditanya anak kita, “Ayah Ibu tinggal di belahan bumi mana sih waktu itu, kok gak jadi investor pasar modal Indonesia?”.
Artikel ini telah terbit sebelumnya di koran Investor Daily pada 11 Oktober 2018