Saham emiten bank digital ambruk berjamaah setelah usainya euforia bank digital pada 2021 lalu. Kendati demikian, industri ini masih prospektif di tahun 2023 seiring bertumbuhnya kinerja emiten.

Saham emiten bank digital saat ini sudah merosot hingga 80 persen bila dibandingkan dengan harga sahamnya saat bank digital tengah ‘hype’ di tahun 2021 lalu.

Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat, saham PT Bank Raya Indonesia Tbk (AGRO) ambles paling dalam, yakni mencapai 82,91 persen bila dibanding dengan harga saham tertingginya pada tahun 2021 lalu.

Asal tahu saja, saham emiten bank digital ini sempat menyentuh Rp2.563/saham pada perdagangan 6 Agustus 2021. Namun, pada Kamis (26/1), harga saham AGRO sudah ambruk ke level Rp438/saham.

Menyusul AGRO, emiten bank digital PT Bank Jago Tbk (ARTO) juga ambruk 81,16 persen menjadi Rp3.580/saham pada perdagangan Kamis (26/1).

Sedangkan, ARTO pernah mencapai all time high pada 17 Januari 2022 lalu, yakni dilevel Rp19.000/saham.

Contoh lainnya, bank digital PT Bank Aladin Syariah Tbk (BANK) juga mencatatkan harga saham yang lesu, yaitu di Rp1.330/saham pada Kamis (26/1). Padahal, di tahun 2021 harga sahamnya pernah melonjak menjadi Rp3.790/saham pada 1 April 2021.

Sementara, dua bank digital lainnya, yakni PT Bank Neo Commerce (BBYB) dan PT Allo Bank Indonesia (BBHI) juga bernasib sama.

Adapun, harga saham BBYB telah merosot hingga 72,14 persen dari harga tertingginya.

Melansir data Yahoo Finance, BBYB pernah menyentuh harga tertingginya di Rp2.800/saham pada perdagangan 20 Desember 2021. Sedangkan, per Kamis (26/1), harga saham BBYB sudah anjlok menjadi Rp780/saham.

Setali tiga uang, saham BBHI juga merosot tajam menjadi Rp1.830/saham pada penutupan Kamis (26/1). Padahal, harga sahamnya pernah mencapai Rp8.025/saham pada 15 November 2021.

Artinya, saham emiten milik CT Corp tersebut sudah ambruk hingga 77,20 persen dibanding harga tertingginya.

Melihat fenomena ini, Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Muhammad Nafan Aji Gusta menilai, anjloknya saham BBHI bersama emiten-emiten bank digital lainnya pada saat ini terjadi seiring surutnya euforia bank digital.

“Sentimen yang memengaruhi dari euforia digitalisasi perbankan yang sudah mereda,” kata Nafan saat dihubungi IDX Channel, Rabu (18/1).

Valuasi Bank Digital Masih Menarik?

Secara valuasi, saham emiten-emiten bank digital memiliki valuasi yang lebih tinggi dibanding rata-rata industri.

BBHI misalnya, yang valuasi price earnings ratio (PER) mencapai 142,68 kali. Artinya, saham BBHI diperdagangkan 142,68 kali di atas laba per saham perusahaan. Padahal, PER rerata industri hanya sebesar 12 kali.

Sedangkan, bila diukur dengan metrik rasio price to book value (PBV), valuasi BBHI juga masih kemahalan.

PBV adalah rasio yang membandingkan harga saham dengan nilai buku ekuitas. Semakin rendah rasio PBV, suatu saham bisa disebut semakin murah.

Saat ini, rasio PBV BBHI sebesar 6,30 kali.Secara sederhana, itu berarti harga saham BBHI diperdagangkan 6,30 kali di atas nilai buku per sahamnya.

Secara rule of thumb, rasio PBV dikatakan mahal apabila di atas 1 kali dan murah apabila di bawah 1 kali. Demikian pula, saham dengan PBV di atas rerata industri bisa disebut overvalued.

Sedangkan, PBV rerata industri sendiri berada di angka 2,09 kali.

Menilik emiten bank digital lainnya, ARTO mencatatkan rasio PER yang tertinggi, yakni mencapai 916,97 kali. Kendati PBVnya masih berada di bawah BBHI, yakni di level 5,98 kali. (Lihat tabel di bawah ini.)

Sementara, BBYB mencatatkan nilai PBV yang paling rendah, yakni sebesar 4,17 kali. Kendati demikian, bank digital ini justru mencatatkan PER yang negatif, yaitu mencapai minus 11,71.

PER yang negatif mengindikasikan emiten sedang mengalami rugi bersih.

Sebagaimana disebutkan dalam laporan keuangan emiten, BBYB membukukan rugi bersih sebesar Rp601,17 miliar selama 9 bulan 2022.

Selain BBYB, BANK juga mencatatkan PER negatif. Melansir data BEI per Kamis (26/1), PER BANK mencapai minus 99,84 kali seiring rugi bersih emiten yang membengkak 141,11 persen menjadi Rp146,42 miliar hingga 9 bulan 2022.

Adapun, PBV dari emiten bank digital ini mencapai 9,67 kali, yakni yang paling mahal dibanding emiten-emiten bank digital lainnya.

Nama Besar di Balik Bank Digital

Kendati valuasinya cenderung di atas rerata industri, emiten-emiten bank digital memang memiliki nama-nama besar yang memperkuat ekosistemnya.

Sebut saja ARTO yang dikuasai oleh Jerry Ng yang termasuk crazy rich di Tanah Air. Forbes mencatat, bankir kawakan tersebut merupakan orang terkaya ke 35 di Indonesia.

Selain itu, melansir data Forbes per 12 Juli 2022, kekayaan Jerry Ng mencapai USD1,2 miliar atau setara Rp17,92 triliun dengan asumsi kurs Rp14.935/USD.

Di samping itu, ARTO juga turut dimiliki raksasa tekno Indonesia, yakni PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) melalui PT Dompet Karya Anak Bangsa. Melansir data BEI per 30 Desember 2022, PT Dompet Karya Bangsa menggenggam 21,40 persen saham ARTO.

Selanjutnya, BBYB juga dikendalikan oleh startup fintech lending, Akulaku. Pada 19 November 2021, PT Akulaku Silvrr Indonesia resmi mengakuisisi 24,9 persen saham BBYB dan menjadi pengendali saham emiten bank digital ini.

Sementara per 30 Desember 2022, kepemilikan saham Akulaku di BBYB sudah bertambah menjadi 25,66 persen.

Di sisi lain, BBHI juga memiliki nama besar dibaliknya, yakni PT Mega Corpora yang merupakan salah satu anak perusahaan CT Corp milik pengusaha ternama Chairul Tanjung.

Adapun, per 31Desember 2022, PT Mega Corpora memegang 60,88 persen saham bank yang pada awalnya bernama PT Bank Harda Internasional Tbk tersebut.

Selain CT Corp, saham BBHI juga dimiliki perusahaan besar lainnya seperti Bukalapak, Abadi Investment (Traveloka), dan PT Indolife Investama Perkasa (Salim Grup). Adapun menurut data BEI, Bukalapak memegang 11,49 persen saham BBHI.

Sementara, Traveloka memiliki 7 persen saham emiten bank tersebut, sedangkan Indolife Investama Perkasa menggenggam 6 persen saham BBHI.

Selain emiten di atas, BANK juga dikendalikan oleh John Kusuma yang merupakan salah satu petinggi PT Nojorono Tobacco International di Kudus, Jawa Tengah. Perusahaan tersebut merupakan produsen rokok terkenal seperti Class Mild.

John tercatat memiliki saham di Bank Aladin Syariah atau BANK. Ia merupakan pemegang saham pengendali terakhir alias ultimate beneficiary owner (UBO) BANK lantaran mengendalikan PT Aladin Global Ventures.

Adapun BEI mencatat saham yang dimiliki oleh PT Aladin Global Ventures di Bank Aladin sebesar 53,67 persen per 31 Desember 2022.

Di samping itu, emiten pengelola Alfamart PT Sumberia Alfaria Trijaya Tbk (AMRT) juga telah berinvestasi di Bank Aladin senilai Rp500 miliar sejak 7 Juni 2022.

Terakhir, AGRO dikendalikan oleh salah satu dari big four perbankan Tanah Air, yaitu PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI). Tercatat, BBRI mengakuisisi AGRO pada tahun 2011 silam.

Sementara, berdasarkan data BEI per 31 Desember 2022, BBRI mengendalikan 86,85 persen saham AGRO.

Kinerja Pulih, Prospek Bakal Moncer?

Kendati saat ini sedang berada dalam masa downtrend, kinerja saham sebagian besar bank digital sepanjang 2023 berada di zona hijau.

Menurut data BEI pada Kamis (26/1), saham BBYB melesat hingga 20,93 persen secara year to date (YTD).

Melesatnya kinerja saham BBYB sepanjang 2023, seiring dengan kinerja yang solid bank digital ini pada kuartal IV-2022.

Melansir riset RHB Sekuritas dengan judul “Bank Neo Commerce: Solid Operating Improvements; Keep Buy” yang diterbitkan pada Kamis (26/1), BBYB mencatatkan pertumbuhan pendapatan yang stabil pada kuartal IV-2022.

Di periode ini, BBYB memperoleh net interest income(NII) sebesar Rp607 miliar atau naik sebesar 437,2 persen secara tahunan. Sementara, non performing loan (NPL) dari BBYB juga naik sebesar 2,6 persen.

Di samping itu, BBYB juga berencana menaikkan cakupan NPL secara bertahap ke atas 100 persen untuk mempertahankan laba positif perusahaan di tahun 2023.

“NPL yang telah meningkat menjadi 2,6 persen di tahun lalu, diperkirakan akan mencapai 3 persen hingga 3,5 persen di tahun 2023,” tulis riset tersebut.

Selain BBYB, saham emiten bank digital lainnya yang menguat sepanjang 2023 adalah BBHI dan AGRO.

Menurut data BEI pada Kamis (26/1), saham BBHI dan AGRO masing-masing melesat sebesar 3,68 persen dan 8,42 persen secara YTD.

Kendati sebagian besar saham emiten bank digital menghijau sepanjang 2023, saham dua emiten lainnya, ARTO dan BANK justru merosot.

Adapun, BEI mencatat, saham ARTO dan BANK masing-masing terkontraksi sebesar 3,76 persen dan 6,01 persen sepanjang 2023. (Lihat grafik di bawah ini.)

 

Secara keseluruhan, meski saham bank digital masih melempem, industri ini masih menawarkan prospek menarik di tahun 2023.

Hal ini diungkapkan oleh riset BRI Danareksa Sekuritas yang diterbitkan pada 16 Desember 2022 bertajuk “Digital Banks: Awaiting a Rally”, yang menyebutkan bahwa bank digital masih siap bertumbuh terlepas dari tantangan saat ini.

Adapun, BRI Danareksa Sekuritas memproyeksikan pertumbuhan simpanan rata-rata di tahun 2023 tetap tinggi mencapai 40 persen didorong oleh pertumbuhan pelanggan dan simpanan per nasabah yang lebih tinggi.

“Kami masih mengharapkan pertumbuhan pinjaman rata-rata 40 persen karena kami yakin pasar pinjaman bank digital masih besar dan pemain industri ini masih dalam tahap awal adopsi teknologi digital,” tulis BRI Danareksa dalam risetnya.

Dengan demikian, BRI Danareksa Sekuritas memberikan rating overweightpada industri ini seiring potensi pertumbuhan yang tinggi di pasar Indonesia terlepas dari tantangan di tahun 2023.

Potensi tersebut turut didukung oleh efisiensi biaya dan pendapatan bunga bersih yang lebih tinggi yang mendorong naiknya pendapatan.

Kendati demikian, sejumlah faktor risiko seperti kenaikan suku bunga yang kurang hawkishhingga laju suku bunga yang lebih rendah dapat menjadi katalis utuk pemeringkatan ulang sektor ini.

Selain menyebutkan potensi bank digital di tahun ini, BRI Danareksa juga memilih ARTO sebagai pilihan utama dari industri ini seiring dengan potensi sinergi emiten ini dengan GOTO yang mendorong pertumbuhan simpanan.

“Risiko terhadap pilihan kami adalah akuisisi dan monetisasi pelanggan yang lebih rendah dari perkiraan hingga hambatan regulasi,” tulis BRI Danareksa.

Dengan demikian, bank digital masih tetap menarik di 2023 seiring dengan pulihnya kinerja perusahaan hingga sahamnya yang cenderung menguat di awal tahun ini.

Periset: Melati Kristina

(ADF)