Tren ini akan mendegradasi pentingnya atribut tradisional yaitu atribut keuangan seperti returns dan risiko dalam membuat keputusan investasi karena atribut non-keuangan telah menjadi atribut penting yang digunakan oleh beberapa segmen investor baik itu investor ritel maupun institusi dalam memilih aset investasi baik di pasar modal maupun pasar uang.   

Yang cukup menonjol adalah pertumbuhan investasi yang menggunakan skrining lingkungan (environment), sosial (social) dan tata kelola (governance), atau yang lebih dikenal dengan ESG. Investasi ini dikenal degan nama Socially Responsible Investment (SRI), investasi yang menjadikan atribut tradisional bukan sebagai atribut utama dalam membuat keputusan investasi tapi ada atribut utama yang dipertimbangkan yaitu ESG compliance.

Tahun 2016, secara global, total dana SRI yang dikelola secara professional mencapai USD 6,8 Triliun (GSIA, 2016), angka yang cukup besar dalam mendukung sektor ril yang menerbitkan sekuritas guna mendukung pembiayaan perusahaan.

Keunikan dari SRI terletak pada konsep doing good while doing well, dimana SRI bukanlah investasi philanthropy yang hanya mengutamakan doing good tapi juga menjanjikan tingkat pengembalian financial, atau doing well. Inilah yang membuat SRI semakin diminati, tidak saja bagi mereka yang selama ini sangat peduli dengan nilai ESG tapi juga investor yang memiliki tujuan finansial jangka pendek atau jangka panjang.

Dengan tren pertumbuhan SRI yang semakin cepat, perubahan tidak akan saja terjadi pada perilaku investor, tapi juga pada perilaku manajemen perusahaan. Dua keputusan utama perusahaan yaitu investment decision dan financing decision tentunya akan mengalami perubahan seiring semakin berartinya peranan SRI investor dalam pasar modal. Perusahaan otomatis harus berinvestasi pada aktifitas atau praktik yang berhubungan dengan ESG kalau mereka ingin menarik dana dari SRI investor retail dan institusi.

Perubahan prilaku perusahaan ini tentunya positif bagi lingkungan perusahaan. ESG tidak saja sebagai aktifitas Corporate Social Responsibility (CSR), namun lebih dari itu, ESG mengkombinasikan CSR, etika dan good governance.

Untuk isu lingkungan saja perusahaan harus lolos dari beberapa skrining yang berhubungan dengan isu lingkungan. USSIF, forum investasi SRI di Amerika Serikat, khusus untuk reksa dana SRI, beberapa skrining lingkungan harus dipatuhi seperti tingkat polusi yang dihasilkan, pemakian climate/ clean technology, dan isu lingkungan lainnya.

Sedangkan untuk skrining sosial, USSIF menggunakan beberapa kriteria. Misalnya kriteria yang berhubungan dengan aktivitas community development, diversifitas dalam jajaran direksi, dan hak asasi manusia. Selain itu juga terhadap kriteria yang berhubungan dengan labor relation, dengan menilai bagaimana hubungan antara manajemen dengan pekerja atau buruh.

Untuk governance sendiri, kriteria utama yang diangkat adalah board issue, atau yang berhubungan dengan komposisi komisaris perusahaan yang menjadi perwakilan pemegang saham. Dan yang menarik adalah kriteria yang berhubungan dengan executive pay dimana harus mencerminkan prinsip keadilan bagi seluruh pihak dalam perusahaan, terutama bagi buruh.

Selain ketiga isu tersebut, ada satu kriteria lainnya, yaitu etika. Kriteria ini mengangkat beberapa isu mengenai produk perusahaan. Misalnya skrining ini menghindari perusahaan yang memproduksi alkohol, judi, senjata, rokok, dan produk yang menggunakan hewan untuk percobaan produk.

Dalam pelaksanaannya, suatu portofolio atau reksa dana hanya mengambil satu, dua atau semua jenis skrining. Namun, tidak jarang juga beberapa reksa dana mengkombinasikan dua atau semua skrining tersebut dalam memilih sekuritas atau aset membentuk portofolio.

Transformasi atau nantinya akan menjadi revolusi di pasar modal dengan kehadiran SRI investor tentunya akan mampu menyediakan dana murah bagi perusahaan yang memenuhi criteria ESG (ESG compliant firms). Biaya yang muncul dari aktivitas yang berhubungan dengan ESG bisa dikompensasi dengan potensi premium yang didapat ketika perusahaan menerbitkan sekuritas.

Di sisi lain, investor SRI akan menjadi pihak yang akan memberikan hukuman (punishment) kepada perusahaan yang melakukan aktivitas anti-ESG. Perusahaan yang terlibat dalam pencemaran lingkungan, misalnya, akan dijauhi oleh investor SRI, tentunya ini akan berpotensi meningkatkan cost of capital perusahaan ketika mencari sumber dana di pasar modal atau uang, jika dibandingkan dengan perusahaan yang memenuhi kriteria ESG.

Untuk Indonesia sendiri, potensi kearah pertumbuhan investasi SRI baik itu pertumbuhan jumlah investor, dana kelolaan (total net asset value), dan jumlah produk investasi mulai terlihat. Kehadiran indeks Sri Kehati yang merupakan indeks dengan ESG constraints yang didukung oleh aktivis lingkungan dan sosial akan menjadi milestones pertumbuhan investasi SRI di Indonesia. Setidaknya investor ritel yang selama ini mengalami kesulitan memilih sekuritas yang diterbitkan oleh perusahaan yang memenuhi kriteria ESG, mendapatkan kemudahan dalam membuat keputusan investasi.

Walaupun kehadiran Sri Kehati belum dimanfaatkan secara optimal oleh perusahaan investasi, namun setidaknya indeks ini akan menjadikan benchmark keberhasilan perusahaan dalam mengadopsi ESG dalam kegiatan perusahaan. Reputasi perusahaan akan semakin lebih baik ketika perusahaan masuk menjadi salah satu dari 25 emiten yang tergabung dalam indeks ini.

Pemerintah bisa memanfaatkan kehadiran Sri Kehati dengan memotivasi perusahaan investasi untuk menerbitkan produk investasi dengan menggunakan benchmark indeks ini. Walapun sudah hadir beberapa ETF dengan mem-benchmarking kepada Sri Kehati, produk investasi lain perlu didorong guna menarik lebih banyak dana kelolaan yang akan dialokasikan nantinya pada sekuritas perusahaan yang memenuhi ESG, seperti passive/ active open-/close-end fund.

Sebenarnya banyak lagi potensi produk investasi SRI yang bisa ditawarkan oleh perusahaan investasi, seperti private equity dan hedge fund.

Selain itu, pemerintah ataupun Self Regulatory Organization (SRO) khususnya BEI bisa juga menginisiasi kelahiran indeks lain, setidaknya indeks yang menggunakan negative screening. Sri Kehati yang menggunakan positive screening/ best in class hanya memasukkan 25 emiten terbaik yang memenuhi kriteria ESG. Indeks dengan negative screening nantinya akan memasukkan semua perusahaan yang memenuhi kriteria ESG, sehingga berpotensi akan menawarkan investment set yang lebih besar pada investor SRI. Indeks ini akan memudahkan investor SRI yang hanya memperdulikan terpenuhinya kriteria ESG.

Pertumbuhan investasi SRI sangat diperlukan sebagai hazard perubahan perilaku perusahaan ke yang lebih baik. Selain menarik lebih banyak investor dari seluruh segmen pasar ketika melakukan IPO atau penjualan sekuritas utang, perusahaan yang baik juga cenderung memiliki kinerja keuangan jangka panjang yang lebih baik. Biaya yang mereka keluarkan untuk absorsi ESG saat ini merupakan bentuk investasi yang memberikan dampak berkelanjutan (sustainable).


By: Fajri Adrianto

Doktor Keuangan dari Queensland University of Technology dan Pengajar Fakultas Ekonomi, Universitas Andalas

Artikel ini sebelumnya telah terbit pada 17 April 2018 di Koran Harian Bisnis Indonesia