https://nasional.sindonews.com/
Presiden yang Memilih Rektor
Wacana
Rektor akan dipilih dan ditentukan oleh Presiden muncul dari Mendagri Tjahyo
Kumolo seperti yang diberitakan oleh detik.comSabtu 1 Juni
2017 dengan judul berita "Mendagri: Tak Lagi oleh Dikti, Rektor Kini
Dipilih Presiden". Pada hari yang sama juga tempo.com menurunkan
pemberitaan dengan judul "Berita Terkini: Keputusan Akhir Pemilihan Rektor
Melalui Presiden"
"Penentuan
rektor ya selama ini oleh Dikti, hasil komunikasi kami dengan Mensesneg dengan
bapak Presiden, Pak Mendikti, saya kira terakhir (penentuannya) harus dari
bapak presiden," kata Tjahjo di kantor Kemendagri, Jalan Medan Merdeka
Utara, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (1/6/2017).
Walaupun
pemberitaan itu kemudian di "dibantah" atau lebih tepatnya di
klarifikasi oleh Menristek bahwa itu tidak benar apa yang
disampaikan oleh Mendagri, sebab pemilihan Rektor itu tetapi menjadi kewenangan
Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, seperti beritakan oleh tempo.com
https://nasional.tempo.co/read/881879/wacana-mendagri-rektor-dipilih-presiden-menristekdikti-menjawab
Menteri
Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Muhamamd Nasir membantah bahwa pemilihan
rektor perguruan tinggi akan dilakukan presiden. "Bukan Pak Presiden, itu
Pak Mendagri (Menteri Dalam Negeri) kan yang cerita," katanya di kantor
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Selasa, 6 Juni
2017. Nasir menjelaskan, pemilihan rektor tetap menjadi kewenangan Kementerian
Riset. Dia menegaskan peraturan menteri perihal pemilihan rektor sudah jelas.
Pengangkatan dan pemberhentian pemimpin perguruan tinggi telah diatur dalam
Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 19 Tahun 2017.
Terlepas
dari mana yang benar perbedaan pemberitaan yang disampaikan oleh Menteri Dalam
Negeri dengan Menristek, tetapi yang menarik dan tentu saja penting adalah
alasan dibalik rencana ikut sertanya seorang Presiden untuk menentukan dan
memilih seorang Rektor di sebuah Perguruan Tinggi, walaupun terbatas masih
dalam lingkup PTN dan belum termasuk PTS.
Pertanyaan
yang menggelitik adalah ada apa dengan kampus saat ini? Memang hiruk
pikuknya dinamika politik sejak setahun terakhir ini dalam rangka
kontestasi poliitk di Pilpres dan Pileg, nyaris kampus seakan-akan diam seribu
bahasa dan adem ayem saja adanya.
Maksudnya
adalah apakah betul kampus sudah kehilangan daya kritisnya dalam mengikuti,
mengawal dan ikut memberikan koreksi dengan banyak hal yang terjadi dengan
negeri ini?
Terus
terang, wacana Rektor dipilih oleh Prisiden, seperti mambangunkan kesadaran
kritis publik tentang esksistensi dari perguruan tinggi di republik ini dalam
dinamika bangsa yang sedang bergolak menjadi lebih maju dalam era revolusi
indutsri 4.0 dan era disrupsi inovasi teknologi.
Kampus dan Arah Ideologi Negara.
Sinyalemen
yang dikemukakan oleh Mendagri perlu
menjadi pintu masuk untuk mengkritisi kondisi dan dinamika yang sedang ada di
dalam setiap perguruan tinggi agar kedepan negara ini tidak boleh kecolongan
dengan berbagai faham dan ideologi yang bisa menjadi ancaman kedepan bagi
bangsa yang ini.
Hal
tersebut disampaikan Tjahjo karena kekhawatiran adanya ideologi selain
Pancasila yang menyusup dalam perguruan tinggi. Selain itu, dia juga mengatakan
pemerintah merangkul semua perguruan tinggi negeri maupun swasta karena
mempunyai komitmen sama.
Salah satunya, lalu gerakan-gerakan aktualisasi kampus ini memang harus
dicermati, memang Pak Mendikti (M Nasir, red) sudah menyampaikan rektor harus
bertanggung jawab, tapi proses untuk penyeragaman, saya kira harus bapak
presiden," ujarnya.
Sebab
yang terjadi selama ini, utamanya sejak Reformasi 1998, euforia kebebasan
secara politik telah membuai dan mematikan daya kritis terhadap faham dan
ideologi yang menjadi saingan dan ancaman bagi Pancasila sebagai ideologi
Republik ini dan merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Bahkan Mendagri mengemukakan
ditemukannya penganut aliran radikalisme di kampus yang tentu sangat
membahayakan.
Kampus
sebagai sebuah segmen masyarakat yang sangat strategis untuk membawa perubahan
di Indonesia dipastikan akan menjadi tempat yang dijadikan target untuk
merongrong keamanan ideologi bangsa dan negara.
Bila
dilihat secara statistik hingga saat ini, diperkirakan oleh Dikti bahwa jumlah perguruan tinggi yang
ada saat ini sekitar 3500 buah baik PTN maupun PTS, dengan
populasi mahasiswa sekitar 7,5 juta orang, yang tersebar diseluruh wilayah NKRI
mulai dari kota besar hingga kota-kota kecil.
Komunitas
akademik yang sangat strategis sebagai pintu terjadinya perubahan mind-set masyarakat,
mengingat 7,5 jutaan mahasiswaadalah
insan-insan yang sangat kritis dalam mensikapi semua keadaan dan perubahan yang
ada disekitarnya.
Kekuatiran
yang disignalkan oleh Tjahyo Kumolo tentang kampus akan menjadi arena terjadi
gesekan ideologi sangat beralasan dicermati dan diantisipasi agar tidak
disoreintasi yang akan dialami oleh mahasiswa. Tentu saja tidak bermaksud untuk
mengekang tetapi ketika salah arah maka akan menjadi masalah potensial ketika berada
di tengah-tengah masyarakat.
Lagi-lagi
ini menjadi penegasan yang perlu digaris bawahi. Sebab, dinamika politik yang
ada di seantero nusantara ini, banyak ideologi yang dipertontonkan di depan
publik yang betul-betul berseberangan dengan ideologi Pancasila.
Penegasan
dari Hendro Priyoono, mantan Kepala BIN, ketika berlangsungnya masa kampanye
Pilpres 2019 yang lalu, bahwa sesungguhnya yang sedang berkompetisi itu bukan
antara Capres 01 versus Capres 02, tetapi antara ideologi Pancasila versus
Khilafah.
Dan
publik juga semua mengetahui bagaimana proses pombubaran organisasi HTI
mengundang pro dan kontra yang tajam, yang juga melibatkan sejumlah aktifis
kampus, dosen dan mahasiswa.
Nampaknya
sikap dan tindakan tegas dari pemerintahan tentang
berbagai faham, aliran dan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila menjadi
tuntutan dan kebutuhan yang harus di implementasikan dan tidak bisa ditawar
lagi. Kalau tidak maka bangsa ini hanya akan berjalan ditempat saja, dan kalau
lengah maka bisa lebih fatal lagi, yaitu kemunduran bahkan juga kehancuran yang
akan menimpa Indonesia.
Untuk
mengejar ketertinggalan republik ini, dan menjadi salah satu negara besar yang
diperhitungkan dalam percaturan dunia global, maka law enforcement dan
kepatuhan pada hukum, uu dan peraturan yang berlaku menjadi syarat utama.
Intervensi Kampus
Kekawatiran sejumlah pihak ada intervensi pemerintah terhadap kehidupan kampus apabila Presiden yang menentukan Rektor, sangat bisa dimaklumi adanya. Tidak saja karena potensi peluang itu terbuka lebar, tetapi juga trauma yang sangat dalam yang dialami oleh seluruh perguruan tinggi selama masa orde baru.
Pertanyaan
yang menggoda untuk didiskusikan adalah "apabila Presiden yang memilih
Rektor, seberapa signifikan intervensi pemerintah terhadap kehidupan
kampus?" Untuk menjawab pertanyaan dilematis ini, maka catatan kritis yang
bisa di lihat adalah:
Pertama, kata intervensi selalu
berkonotasi negatif. Pengalaman masa orde baru, kampus di bungkam habis-habisan
terhadap sikap, opini kritis terhadap pemerintah. Mengkritisi pemerintah oleh
warga kampus sama saja dengan bunuh diri.
Nampaknya
pemahaman itu tidak salah seluruhnya tetapi juga tidak seluruhnya benar adanya
pada era reformasi sekarang dengan gaya kepemimpinan rezim Kabinet Kerja sekarang
ini. Bahkan, nampaknya ada situasi yang cair antara pemerintah, kampus dengan
dunia usaha dan dunia industri yang sudah disatukan dengan tantangan dari
Revolusi Industri 4.0 dan Era Disrupsi Teknologi.
Kedua, selama ini proses pemilihan
Rektor dilakukan melalui forum senat yang dimiliki kampus yang didalamnya juga
ada rektor. Disinilah sesungguhnya yang menjadi klimaks otoritas yang dimiliki
kampus dalam memproses seorang Rektor yang akan memimpin sebuah
univeristas.
Ketika
Presiden mengambil alih fungsi dan peran itu, maka otoritas kampus itu menjadi
hilang dan dianggap kampus tidak ada lagi kemewahan yang dimiliki sebagai
sebuah institusi pendidikan tinggi yang sangat menjunjung tinggi indipendensi
dan objektifitas.
Seberapa
mungkin aka nada rektor yang salah pilih oleh senat, sehingga rektor ini akan
menjalankan ideologi lain selain Pancasila?
Ketiga, Rektor sebagai bagian
dari Kemenristek dan Menristek merupakan pembantu Presiden secara langsung,
maka harusnya kekawatiran itu menjadi tidak beralasan secara signifikan.
Kecuali bila ada agenda politik yang sangat menyolok sedang dijalankan oleh
Presiden yang sedang bekerja.
Dalam
era keterbukaan dan transparansi saat ini, kemungkinan ini menjadi sangat tidak
signifikan, karena kontrol publik menjadi sangat kuat terhadap pemerintah yang
berjalan. Era sosial media kini telah mempengaruhi derajat penyimpangan dan
penyelewengan kewenangan yang dimiliki oleh pejabat negara dan publik.
Keempat, tantangan global yang sedang
dihadapi oleh Indonesia saat ini, dengan Revolusi Industri 4.0 dan Era Disrupsi
Inovasi teknologi dalam berbagai bidang telah menyatukan semua sumberdaya
bangsa ini untuk bersama-sama melakukan yang terbaik bagi masa depan Indonesia.
Dalam
salah debat Capres 2019, Presiden Jokowidodo menegaskan bahwa bukan bangsa yang
besar yang akan menindas bangsa kecil, tetapi negara yang cepatlah yang akan
meninggalkan negara yang lamban.
Ini
pesan sangat menantang dan futuristik, karena berbicara tentang kemajuan
teknologi yang sangat cepat. Sehingga disrupsi dalam segala hal akan mematikan
dan meninggalkan semua yang sifatnya tradisional menjadi tinggal nama saja dan
masuk museum.
Dunia
kampus tidak boleh lagi sibuk berteori, tetapi harus menyatu dengan dunia usaha
dan dunia industri untuk bersama sama menjawab tantangan realitas yang ada.
Bagaimana proses produksi menjadi lebih efisien, lebih efektif, lebih marketable,
dan menjawab kebutuhan pasar.
Dalam
konteks ini, harusnya tidak ada lagi jarak antara dunia kampus dengan dunia
pemerintahan, dunia industri dan dunia usaha. Semuanya menyatu untuk menjawab
tantangan masa depan yang semakin sulit diprediksi secara baik dan akurat.
Kelima, keterlibatan sejumlah Rektor dalam praktek Korupsi sebagai sebuah fakta yang sangat menceederai eksistensi perguruan tinggi yang seharusnya menjadi acuan moral dan integritas yang tinggi. Pemberitaan oleh KPK beberapa minggu yang silam tentang fakta ini tentu saja menjadi review kritis tentang kemampuan senat univeristas untuk memilih seorang Rektor yang benar.
https://nasional.tempo.co/read/1212041/tahanan-kpk-akan-salat-idul-fitri-di-rutan-guntur
Indonesia
yang bermimpi untuk menjadi sebuah kekuatan ekonomi terbesar di dunia pada
tahun 2030, 2045 dan 2050 menjadi visi dunia akademik dan kampus untuk
memberikan kontribusi yang berada pada jalan yang benar.
Dan
bukan lagi hanya sekedar berada dalam dunia yang sangat steril dengan bergulat
banyak hal tentang teori dan pengetahuan literatur yang ada. Ini semua tidak
berguna ketika tidak mampu memberikan jawaban terhadap problem yang dihadapi
oleh masyarakat, pemerintah, dan dunia usaha dan dunia industri.
Artikel ini telah terbit sebelumnya pada 9 Juni 2019 di Kompasiana