Indonesia adalah salah satu negara dengan penduduk
muslim terbesar di dunia. Sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama
Muslim, tentunya hal itu akan mendorong peningkatan kinerja industri Syariah,
termasuk di dalamnya adalah Perbankan Syariah. Maka tidak heran, jika
belakangan ini banyak bank konvensional yang mulai memperlebar sayap bisnisnya
ke institusi syariah ataupun unit usaha syariah (UUS). Beberapa Bank Syariah pun
sudah ada yang mencatatkan sahamnya di BEI. Seperti apa prospek Perbankan
Syariah ke depannya?
Apa
Itu Perbankan Syariah ?
Secara sederhana, Perbankan Syariah juga dikenal
sebagai perbankan Islam. Di mana dalam pelaksanaannya perbankan syariah
memiliki landasan hukum sesuai syariat Islam. Salah satunya adalah perbankan
syariah tidak mengenal adanya “bunga pinjaman” atau interest rate, dikarenakan
bunga pinjaman di nilai riba/haram dan akan berdosa. Sehingga dalam operasionalnya
perbankan syariah menerapkan “sistem bagi hasil” atau Nisbah, di mana
prosesnya sama-sama diketahui dan disetujui oleh pihak bank maupun pihak
nasabah pada saat akad (perjanjian)ditandatangani. Sistem bagi
hasil yang dilakukan bank syariah adalah dengan cara profit
sharing, yakni membagi keuntungan bersih dari usaha atau investasi
yang sudah dijalankan.
Adapun akad yang diterapkan oleh bank syariah
terdiri dari tiga macam yakni : Pertama, Akad Mudharabah adalah
akad kerja sama usaha antara nasabah dan bank. Di mana nasabah memberikan modal
usaha, dan bank menjadi pihak penyelenggara yang melakukan usaha. Dengan
ketentuan jika kerugian dilakukan nasabah maka akan ditanggung oleh nasabah itu
sendiri. Sebaliknya jika bank yang melakukan kesalahan maka yang bertanggung
jawab adalah pihak bank. Akad Mudharabah ini biasanya dilakukan dalam deposito
syariah.
Kedua, Akad
Musyarakah merupakan perjanjian kerja sama antara dua
pihak/lebih untuk usaha tertentu, baik bank dan pihak yang terlibat sama-sama
mengeluarkan modal dengan nilai yang sama dan menanggung risiko secara
bersama-sama. Dan nantinya bank syariah akan mendapat pembagian keuntungan
sesuai kesepakatan. Di sisi lain, bank syariah juga masih memiliki kemungkinan
merugi bila kerja sama usaha itu gagal. Tentu kesepakatan itu berbeda dengan
bank konvensional, akad musyarakah ini akan masuk dalam kredit modal kerja.
Bank konvensional juga akan menetapkan jumlah suku bunga tertentu, dan dari
sisi kerugian bank konvensional cenderung tidak akan merugi karena pinjaman itu
harus dikembalikan berikut dengan bunganya.
Ketiga, Akad
Murabahah digunakan berdasarkan aktivitas jual beli
barang dengan tambahan keuntungan untuk bank syariah yang disepakati kedua
belah pihak. Dan akad ini seringkali digunakan untuk perjanjian penggunaan
produk kredit pembelian rumah (KPR), properti, tanah, kendaraan bermotor,
tempat usaha, maupun yang lainnya. Adapun contohnya seperti : Bank syariah membeli
tanah dengan harga Rp 150 juta, dan akan di jual lagi ke pembeli dengan harga
Rp 170 juta. Baik bank dan pembeli sama-sama menyepakati perjanjian dengan
tambahan keuntungan yang diperoleh bank sebesar Rp 20 juta. Sehingga nantinya
pembeli akan mencicil seharga Rp 170 juta ke bank dengan cicilan tetap sampai
tenor pinjaman selesai.
Nah kira-kira kalau diklasifikasikan perbedaan antara bank syariah dan bank konvensional, adalah sebagai berikut :
Perbedaan
antara Bank Syariah dan Bank Konvensional |
|||
Bank
Syariah |
Bank
Konvensional |
||
1. |
Hanya melakukan investasi yang
halal menurut hukum Islam. |
1. |
Melakukan investasi dalam
bentuk apa saja. |
2. |
Prinsip Bagi Hasil, jual-beli,
ataupun sewa. |
2. |
Prinsip Suku Bunga. |
3. |
Berorientasi pada keuntungan
dan falah (kebahagiaan dunia dan akhirat sesuai ajaran Islam) |
3. |
Berorientasi pada bunga. |
4. |
Hubungan dengan Nasabah, adalah
bentuk “Kemitraan”. |
4. |
Hubungan dengan Nasabah, adalah
bentuk “kreditur-debitur”. |
5. |
Penghimpunan dan penyaluran
dana sesuai fatwa Dewan Pengawas Syariah. |
5. |
Penghimpunan dan penyaluran
dana tidak diatur oleh dewan sejenis. |
Perkembangan
Perbankan Syariah
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia di
mulai sejak tahun 1983, bersamaan dengan adanya deregulasi perbankan. Di mana
pemerintah Indonesia berencana untuk menerapkan “sistem bagi hasil” dalam
perkreditan yang merupakan konsep dari perbankan syariah. Dan kemudian di tahun
1980, muncul sejumlah inisiatif pendirian bank Islam Indonesia melalui
diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam. Di tahun
1988, sudah lebih banyak bermunculan bank konvensional dan beberapa diantaranya
untuk usaha perbankan yang bersifat daerah berasaskan syariah.
Perkembangan juga terlihat semakin masif di tahun
1990 dengan ditandainya Majelis Ulama Indonesia yang membentuk kelompok kerja
(Tim Perbankan MUI) untuk mendirikan Bank Islam di Indonesia. Sebagai hasil
kerja kelompok kerja tersebut adalah berdirinya Bank Syariah Pertama di
Indonesia, yakni PT Bank Muamalat Indonesia yang resmi berdiri pada November
1991.
Sayangnya keberadaan bank syariah saat itu belum
mendapatkan perhatian jajaran perbankan nasional. Hal itu terkait dengan
landasan hukum operasi perbankan yang memakai sistem syariah, yang mengacu pada
UU berikut : “bank dengan sistem bagi hasil pada UU No. 7 Tahun 1992, tanpa
rincian landasan hukum syariah dan jenis-jenis usaha yang diperbolehkan.
Kemudian UU tersebut disempurnakan pada tahun 1998 menjadi : UU No. 10
Tahun 1998, terdapat dua sistem dalam perbankan di tanah air (dual banking
system) yaitu sistem perbankan konvensional dan sistem perbankan syariah. Hasilnya
pun UU tersebut mendapatkan sambutan positif dari sejumlah perbankan melalui
berdirinya beberapa Bank Islam, seperti Bank Syariah Mandiri, Bank Niaga, Bank
BTN, Bank Mega, Bank BRI, Bank Bukopin, BPD Jabar, BPD Aceh, dan lainnya.
Sejak itu, muncullah sejumlah pengesahan produk
perundangan yang memberikan kepastian hukum dan mendukung aktivitas pasar
keuangan syariah. Di antaranya UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah, UU No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara
(sukuk), dan UU No. 42 Tahun 2009 tentang Amandemen Ketiga UU No. 8
tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa. Tidak hanya itu, perbankan syariah
sendiri sejak tahun 2013 untuk fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan
syariah sudah berpindah dari Bank Indonesa ke Otoritas Jasa Keuangan. Kondisi
itu tentu membuat pengawasan dan pengaturan perbankan syariah juga beralih ke
OJK.
Dalam perkembangannya itu, ada hal yang menarik
perhatian Penulis. Di atas tadi sudah Penulis sebutkan bahwa Bank Muamalat adalah
bank syariah pertama di Indonesia, dan ternyata bank yang berasaskan syariah
ini justru mampu melewati masa krisis ekonomi yang terjadi di tahun 1998. Tentu
kebalnya bank syariah terhadap krisis membuat banyak orang heran, mengapa bank
syariah mampu bertahan dari krisis namun di waktu yang bersamaan justru banyak
bank konvensional yang mengalami kejatuhan. Sejak saat itulah, mulai
bermunculan Bank Syariah lainnya, seperti Bank Syariah Mandiri sebagai
bank syariah kedua di Indonesia. Bank Syariah Mandiri sendiri
merupakan gabungan dari beberapa bank yang dimiliki oleh BUMN yang kebetulan
terkena dampak krisis saat itu. Dan hingga kini akhirnya kedua bank syariah
tersebut cukup sukses dan mampu memantik munculnya bank syariah lainnya di
Indonesia.
Hingga saat ini perkembangan Perbankan Syariah
sudah cukup banyak, dan di antaranya tidak kalah saing dengan bank konvensional
yang mendominasi pasar. Nah di bawah ini ada sejumlah perbankan syariah yang
sudah beroperasional aktif di Indonesia :
Perbankan
Syariah. Source : www.ojk.go.id
Perbankan
Syariah Masuk ke Pasar Modal
Pada pembahasan di atas Penulis sudah menguraikan
daftar perbankan syariah yang sudah aktif beroperasi berdasarkan data dari OJK.
Sayangnya, perbandingan antara jumlah perbankan syariah dengan yang sudah
melantai ke BEI sangat minim. Tercatat hingga saat ini, BEI mencatat baru ada
tiga bank syariah yang sudah mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia
yakni PT Bank BRIsyariah Tbk (BRIS), PT Bank BTPN Syariah Tbk (BPTS),
dan PT Bank Panin Dubai Syariah Tbk (PNBS).
Bila diurutkan maka PNBS atau PT Bank Panin
Dubai Syariah Tbk merupakan perbankan syariah yang pertama kali
mencatatkan sahamnya di BEI pada 15 Januari 2014. Dengan harga perdana Rp 100
per saham dan melepas sekitar 4.75 juta saham atau setara 8.05%. Menyusul
kemudian BTPS atau PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Syariah Tbk juga
melantai di BEI pada 8 Mei 2018. Dalam penawaran umum perdana saham nya, BTPS
melepaskan sebanyak 770 juta lembar saham seharga Rp 975 per saham. Dan juga
diikuti oleh BRIS atau PT Bank BRIsyariah Tbkyang juga resmi
tercatat sebagai emiten di BEI pada 9 Mei 2019. Pada saat pencatatan saham,
BRIS melepaskan sekitar 2.62 miliar lembar saham atau sebesar 27% dari modal
ditempatkan dan disetor penuh setelah penawaran umum perdananya dengan harga
sebesar Rp 510 per lembar.
Pasar
Modal Syariah dan Indeks Syariah
Gimana sudah ada gambaran mengenai perbankan
syariah ? Kali ini kita juga akan membahas, kalau ternyata
penerapan “Syariah” ini tidak hanya diterapkan untuk di perbankan saja. Namun
juga diterapkan untuk pasar modal Indonesia. Nah kira-kira apa sih pasar modal
syariah itu ? Pasar modal syariah merupakan seluruh kegiatan di pasar modal
yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam, dan menjadi bagian dari
industri keuangan syariah yang sudah di atur oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Lahirnya pasar modal syariah ditandai dengan
terbitnya reksa dana syariah pertama di tahun 1997. Kemudian
disusul terbitnya Jakarta Islamic Index (JII) sebagai indeks saham syariah
pertama yang terdiri dari 30 saham syariah paling likuid di Indonesia di tahun
2000, dengan sukuk pertama di Indonesia dengan menggunakan akad mudarabah.
Adapun peraturan dari OJK tentang pasar modal syariah pertama dikeluarkan di
tahun 2006, selanjutnya diterbitkan Daftar Efek Syariah (DES) di tahun 2007
sebagai panduan pelaku pasar memilih saham yang memenuhi prinsip syariah. Dan
di tahun 2008, pemerintah menerbitkan UU No. 19 Tahun 2008 tentang Surat
Berharga Syariah Negara. Sedangkan untuk kebangkitan pasar modal
syariah diawali dengan peluncuran Indeks Saham Syariah Indonesia (ISSI) sebagai
indeks komposit saham syariah, yang terdiri dari seluruh saham syariah
di BEI tahun 2011. Masih di tahun yang sama, Syariah Online Trading System
(SOTS) juga diluncurkan oleh perusahaan efek.
Sejak saat itu pasar modal mulai membentuk sejumlah
indeks saham syariah, yang terdiri dari : Pertama Indeks
Saham Syariah Indonesia (ISSI), adalah indeks yang diluncurkan pada 12 Mei
2011 sebagai indeks komposit saham syariah yang tercatat di BEI. ISSI sendiri
merupakan indikator dari kinerja pasar saham syariah Indonesia. Jika dilihat
secara konstituen ISSI ialah seluruh saham syariah yang tercatat di BEI dan
masuk ke dalam Daftar Efek Syariah (DES) yang diterbitkan oleh OJK, itu berarti
BEI tidak melakukan seleksi saham syariah yang masuk ke dalam ISSI. Dalam
pelaksanaannya konstituen ISSI diseleksi ulang sebanyak dua kali dalam setahun,
setiap bulan Mei dan November sesuai jadwal DES. Oleh karenanya, setiap periode
seleksi berlangsung akan ada saham syariah yang keluar/masuk menjadi konstituen
ISSI. Sedangkan untuk metode perhitungan ISSI mengikuti metode perhitungan
indeks saham BEI lainnya.
Kedua Jakarta
Islamic Index (JII) adalah indeks saham syariah yang pertama kali
diluncurkan di pasar modal Indonesia pada 3 Juli 2000, dan hanya terdiri dari
30 saham syariah paling likuid yang tercatat di BEI. Dalam hal pelaksanaannya
konstituen JII juga dilakukan sebanyak dua kali dalam setahun, Mei dan
November. Adapun kriteria likuiditas dalam konstituen JII ialah, saham syariah
yang masuk ke konstituen ISSI sudah tercatat dalam 6 bulan terakhir, dipilih 60
saham berdasarkan urutan rata-rata kapitalisasi pasar tertinggi selama 1 tahun
terakhir, nantinya dari 60 saham itu akan dipilih menjadi 30 saham berdasarkan rata-rata
nilai transaki harian di pasar regular tertinggi, dan 30 saham terpilih itulah
yang masuk ke konstituen JII.
Ketiga Jakarta Islamic Index 70 (JII70), merupakan
indeks saham syariah yang diluncurkan oleh BEI pada 17 Mei 2018, dan konstituen
JII70 hanya terdiri dari 70 saham syariah paling likuid yang tercatat di BEI.
Pelaksanaannya pun juga sama dilakukan sebanyak dua kali dalam setahun, Mei dan
November. Adapun kriteria likuiditas yang digunakan untuk menyeleksi 70 saham
syariah terdiri dari saham syariah yang masuk ke dalam konstituen ISSI dan
tercatat selama 6 bulan terakhir, dipilih 150 saham berdasarkan urutan
rata-rata kapitalisasi pasar tertinggi selama 1 tahun terakhir, dari sana akan
diseleksi menjadi 70 saham berdasarkan rata-rata nilai transaksi harian di
pasar regular tertinggi, dan ke 70 saham itulah sebagai saham terpilih.
Prospek
Perbankan Syariah
Lantas akan seperti apa prospek dari perbankan
syariah Indonesia, baik untuk bank syariah yang sudah tercatat di BEI maupun
bank syariah yang belum tercatat ? Meskipun
perbankan syariah memiliki prospektif yang cukup baik, lantaran sudah terbukti
mampu melewati masa krisis ekonomi Indonesia di sekitar tahun 1998. Namun masih
banyak orang yang menilai sistem bagi hasil yang dijalankan oleh bank syariah
ini sangat riskan. Mengingat risiko yang ditanggung bank cukup besar, belum
lagi mempertimbangkan dampak dari inflasi yang cenderung tidak stabil. Padahal
faktanya, hampir rata-rata bank syariah di Indonesia mampu membuktikan bahwa
sistem bagi hasil cukup menguntungkan. Apalagi saat ini semakin banyak bank
konvensional yang juga ikut mengembangkan bisnisnya ke institusi syariah. Dan
walaupun bank syariah belum mampu mendominasi pasar seperti halnya bank
konvensional, namun bukan berarti bank syariah tidak memberikan layanan yang
baik.
Apalagi Bank Indonesia sudah memproyeksikan
perbankan syariah akan mengalami peningkatan pangsa pasar di sekitar tahun 2023
mendatang. Hal itu sejalan dengan rencana BI yang dalam waktu dekat
akan menerbitkan instrumen Sukuk Bank Indonesia yang bisa dijadikan
sebagai alternatif pembiayaan di pasar keuangan syariah. Bahkan nantinya ukuk
ini bisa diperdagangkan kembali dan menjadi solusi jangka pendek untuk
kebutuhan likuiditas perbankan, selain dari Sertifikat Bank Indonesia Syariah
(SBIS), Faslitas Bank Indonesia Syariah (FASBIS), Reverse Repo
Syariah, dan Repo SBSN.
Dan bahkan juga perlu kita ingat, bahwa pada Mei
2019 kemarin pemerintah secara resmi sudah meluncurkan Masterplan Ekonomi
Syariah Indonesia (MEKSI) 2019 – 2024, sebagai pembuka jalan untuk
bank syariah bisa masuk ke dalam 10 bank terbesar di Indonesia. Dengan adanya
Masterplan Ekonomi Syariah, kedepannya nanti bank syariah tidak hanya
menyalurkan keuangan saja tapi juga bisa terintegrasi secara menyeluruh. Dengan
adanya Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia akan ada empat langkah yang bisa
dijadikan untuk mendorong perbankan syariah, mulai dari penguatan halal value
chain dengan fokus pada sektor yang dinilai potensial dan berdaya
saing tinggi, penguatan sektor keuangan syariah dengan rencana induk yang sudah
terdapat dalam Masterplan Aritektur Keuangan Syariah Indonesia (MAKSI),
penguatan sektor UMKM sebagai penggerak utama halal value chain,
dan penguatan di bidang ekonomi digital utamanya perdagangan dan juga keuangan.
Source :
economy.okezone.com
Kesimpulan
Maka sudah bisa kita simpulkan bahwa perkembangan perbankan syariah belakangan ini sudah mendapatkan sorotan dari seluruh jajaran perbankan nasional. Tak terkecuali pemerintah pun yang kini juga turut memberikan dorongan untuk kemajuan perbankan syariah. Seperti dengan rencana Bank Indonesia yang dalam waktu dekat ini akan menerbitkan instrumen Sukuk Bank Indonesa sebagai alternatif pembiayaan di pasar keuangan syariah. Dan bahkan pemerintah juga secara resmi sudah meluncurkan Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia (MEKSI) 2019 – 2024, sebagai pembuka jalan untuk bank syariah bisa berpeluang memasuki jajaran 10 bank terbesar di Indonesia. Dengan begitu, kita tahu bahwa perbankan syariah ini memiliki prospektif yang cukup positif. Sayangnya meskipun akan terbuka peluang kedepannya, hingga saat ini baru tercatat ada tiga perbankan syariah yang baru mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia. Padahal untuk kegiatan di pasar modal pun saat ini sudah tersedia indeks saham syariah, sehingga seluruh kegiatan akan memenuhi syariat Islam dan terintegrasi dengan berbagai hal yang halal. Untuk itu, ada baiknya kita lihat sebesar apa peluang pertumbuhan perbankan syariah hingga beberapa tahun ke depan.