Siapa sih yang tidak suka dengan barang diskon? Misalkan saja, kita
berada dalam situasi sudah naksir membeli sebuah baju, tetapi karena harganya
harganya belum pas dengan kantong kita, kita pasti berpikir dua kali untuk
membelinya. Kemudian ternyata kita mendapatkan informasi bahwa ternyata baju
yang kita taksir tersebut diskon 50%, maka kemungkinan besar kita akan
memutuskan untuk membeli baju tersebut.
Namun ketika kita
sampai di toko yang menjual baju tersebut, dan ternyata kita menemukan bahwa
baju yang didiskon tersebut ternyata sudah cacat (misalkan saja ada noda yang
tidak bisa hilang, warna bajunya pudar dibandingkan dengan aslinya, ataupun
karena jahitannya yang kasar, dsb), apakah kita masih mau membelinya?
Kemungkinan besar lagi jawabannya adalah tidak, karena pastinya kita ingin
membeli barang bagus dengan harga yang murah, bukannya membeli barang yang
“murahan”.
Nah prinsip yang
sama juga berlaku di pasar saham. Sebagai seorang investor, pastinya kita ingin
membeli saham-saham dengan kualitas bagus pada harga yang terdiskon. Namun
seringkali kata terdiskon ini disalahartikan oleh sebagian investor. Seringkali
banyak investor yang membeli saham yang terlihat murah namun setelah dicek
secara fundamental, perusahaan tersebut memiliki fundamental yang jelek atau
tidak baik.
Kesalahan Yang Sering Dilakukan Investor Dalam Menilai
Saham Murah
Kesalahan terbanyak
yang seringkali dilakukan investor adalah menganggap saham-saham yang berada di
gocap-an lebih murah dibandingkan saham-saham yang berada di harga Rp 1000 an.
Penulis sendiri punya seorang teman yang hobinya adalah mengkoleksi saham-saham
yang berada di bawah harga Rp 100. Alasannya adalah kalau naik lebih “berasa”
ketimbang saham-saham yang berada di harga di atas Rp 1000 an. Sebagai Value
Investor, tentu Anda sudah tahu bahwa dalam membeli saham, kita bukan
berpatokan kepada harga sahamnya melainkan membandingkan harga saham tersebut
dengan nilai intrinsiknya. Jika saham A dihargai di Rp 100 namun
memiliki nilai intrinsik Rp 70, tentu saja lebih mahal ketimbang saham B yang
dihargai di Rp 1000 namun memiliki nilai intrinsic Rp 1500.
Kesalahan
berikutnya yang sering terjadi adalah terlalu mengandalkan indikator PER dan
PBV tanpa mengecek fundamentalnya. Loh bukankah memang PER dan PBV ini yang
menjadi indikator dalam menilai mahal murahnya sebuah saham ? Betul bahwa salah
satu indikator yang seringkali digunakan oleh investor dalam menilai mahal atau
murahnya sebuah saham adalah indikator yang disebut Price to Earnings
Ratio (PER) dan Price to Book Value (PBV). Kita
mengetahui bahwa semakin kecil indikator PER dan PBV maka semakin murah saham
tersebut. Namun, ada beberapa situasi di mana kita tidak bisa selalu
mengandalkan PER dan PBV. Untuk lebih jelasnya Penulis akan berikan sebuah
contoh.
Penulis memberi
contoh saham SRTG. Kalau kita lihat Laporan Keuangan SRTG yang terakhir (2017),
terlihat PER SRTG saat ini adalah sekitar 2.8x. Terlihat menakjubkan dan
terlihat sangat murah bukan ? Namun kalau kita tarik Laporan Keuangan SRTG
selama 3 tahun terakhir (kita bandingkan Laporan Keuangan SRTG tahun
2015, 2016, & 2017, maka ada perbedaan yang mendasar :
- Tahun 2015 : Pendapatan Rp
4.3 Triliun, laba bersih Rp 923 miliar –> Net Profit Margin 22% (PER
11.8x)
- Tahun 2016 : Pendapatan Rp
7.5 Triliun, laba bersih Rp 5.67 triliun –> Net Profit Margin 76% (PER
1.7x)
- Tahun 2017 (ANLZ) :
Pendapatan Rp 4.4 Triliun, laba bersih Rp 3.7 Triliun –> Net Profit
Margin 86% (PER 2.8x)
Lihat perbedaannya?
Laba bersih SRTG terlihat naik sekitar 5x lipat dari tahun 2015 ke tahun 2016.
Kenaikan laba bersih 5x lipat praktis akan membuat PER nya menjadi murah.
Logikanya kalau memang benar laba bersih SRTG di tahun 2016 naik 5 –
6 x lipat dibandingkan 2015, maka seharusnya harga sahamnya juga ikutan
melonjak tinggi. Namun apa yang terjadi pada tahun 2016 harga saham SRTG justru
turun dari 4400 an ke 3000 an (sebelum mantul lagi ke 3800 an posisi sekarang).
Nah kalau kita cek
laporan keuangannya, ternyata ada beban pokok penjualan barang sejumlah
Rp 3.2 triliun di tahun 2015 yang di 0 kan pada tahun 2016 & 2017…
Ternyata pada
Laporan Keuangan SRTG Tahun 2016 pada catatan kaki 26, kita akan
menemukan penjelasan sebagai berikut :
“Nilai beban pokok
penjualan barang merupakan milik entitas anak yang bukan merupakan entitas
investasi. Sejak 2016, entitas tersebut sudah tidak dikonsolidasi karena
investasi di entitas ini diukur pada nilai wajar melalui laporan laba rugi”
Dan juga catatan
kaki 2F, yang
menyatakan :
“Menyatakan
komitmen kepada investor bahwa tujuan bisnisnya adalah untuk menginvestasikan
dana yang semata-mata untuk memperoleh imbal hasil dari kenaikan nilai modal,
penghasilan investasi, atau keduanya;”
Jadi, di atas
kertas, beban pokok penjualan sudah tidak diakui lagi secara akuntansi pada
Laporan Keuangan SRTG, yang membuat biaya nya berkurang Rp 3.2
triliun (secara akuntansi) dan otomatis membuat laba bersih nya
meningkat (secara akuntansi juga). Tapi kalau kita lihat lagi penjelasan di
atas, maka sekarang kita paham bahwa PER nya tidak semurah itu…
Situasi Di Mana Valuasi Murah Tidak Selalu Layak Untuk
Investasi
Ada beberapa
situasi di mana valuasi murah tidak benar-benar layak untuk diinvestasikan dari
sudut pandang Value Investing :
- Secara historical,
Perusahaan tidak pernah dihargai mahal oleh Market
Ketika misalkan
Anda menemukan sebuah saham yang secara valuasi dikatakan murah. Cek terlebih
dahulu historical Perusahaan tersebut. Apakah Perusahaan pernah dihargai mahal
oleh market. Apabila Perusahaan tidak pernah dihargai mahal oleh Market (jadi
selama 5 tahun terakhir PER dan PBV nya selalu terlihat murah), maka cek
terlebih dahulu mengapa perusahaan tidak pernah dihargai mahal oleh Market. Ada
kemungkinan memang kinerja fundamental nya biasa-biasa saja, atau kemungkinan
lain Perusahaan tidak pernah membagikan dividen.
- Kinerja Perusahaan Jeblok
bahkan sampai rugi
Situasi lainnya
adalah ketika dalam kondisi perusahaan sedang mengalami penurunan kinerja.
Lebih parah lagi, perusahaan sedang dalam kondisi rugi. Semurah apapun saham
tersebut namun kinerja perusahaannya tidak baik, maka tetap saja saham tersebut
belum masuk dalam kategori layak untuk investasi. Oleh karena itu, perhatikan
kinerja fundamentalnya. Jangan sampai kita membeli saham yang terkesan murah
namun ternyata secara fundamentalnya tidak bisa dikatakan baik.
- Laba Bersih Perusahaan
meningkat bukan dari Kinerja Operasionalnya.
Situasi lainnya
adalah laba bersih perusahaan meningkat (biasanya meningkat drastis), namun
bukan dari kinerja operasionalnya, melainkan dari hal-hal yang berhubungan
dengan non operasional seperti penjualan aset dsb. Atau seperti contoh SRTG di
atas tadi, di mana laba bersih nya terlihat meningkat drastis karena ada
sejumlah biaya yang dihilangkan atau tidak diakui lagi, yang membuat valuasinya
juga terlihat murah.
Kesimpulan
Setelah memahami
bahwa tidak semua saham yang memiliki valuasi murah layak untuk diinvestasikan,
maka sebaiknya kita lebih berhati-hati lagi dalam melihat valuasi sebuah
perusahaan. Satu tips untuk Anda, jangan hanya melihat valuasi sebuah
perusahaan saja, melainkan juga perhatikan kinerja fundamentalnya. Apakah
memang valuasi murah karena kinerja perusahaan yang semakin baik, atau karena
faktor non-operasional yang membuat valuasi nya terlihat murah? Seperti quotes
yang pernah dikatakan oleh Warren Buffett :
“It’s far better to buy a wonderful company at a fair price, than a
fair company at a wonderful price”
– Warren Buffett –
Notes : Ilustrasi di atas adalah untuk kepentingan edukasi. Tidak ada
maksud untuk mendiskreditkan saham tertentu.