“Kita harus membuat sejarah. Kita mesti menentukan masa depan yang sesuai dengan keperluan kaum perempuan dan harus mendapat pendidikan yang cukup seperti kaum laki-laki.” ~ RA Kartini.
Seorang
wanita tua mengangkat tangannya, menunjuk dirinya, menunjuk ratusan hadirin
yang duduk di depannya, lalu mengepalkan tangannya. Dengan suara perlahan, dia
(berusaha) berteriak, “Saya bisa, kalian bisa, yuk nabung saham!”. Wanita
berumur 77 tahun itu, Oma Elisabeth, baru saja selesai memberikan testimoni
alasan kenapa menjadi seorang investor. “Untuk masa depan kebutuhan anak dan
cucu...”
Entah
apa yang ada di kepala para hadirin saat itu, termasuk bapak walikota, bapak
wakil walikota, pimpinan dan anggota dewan, jajaran unsur forkomindo, para
camat, lurah dan kepala desa, ketua dan anggota tim penggerak PKK, serta
ratusan warga masyarakat yang hadir. Saya sering menyebut dan menulis,
“berinvestasi saham untuk anak dan cucu”, dan hari itu saya bertemu sosok
konkret itu. Saya sungguh bersyukur. (Apalagi kalau permintaan saya untuk
menjadi cucu kedelapannya diterima oleh Oma.)
Berdiri
di samping Oma, ada tiga ibu rumah tangga, Ibu Shevny (54 tahun), Kakak Lusia
(45 tahun), dan Kakak Fitria (31 tahun). Empat perempuan mewakili tiga generasi
yang berbeda. Ibu Shevny, ibu dua anak dan oma dua cucu, bertekad menyisihkan
sebagian uang belanja bulanan untuk investasi. Lusiana adalah istri seorang
marinir. Keluarga yang ideal, bukan? Suami bela negara, istri bela (keuangan)
keluarga. Fitria, ibu dengan putra berusia 9 tahun, sempat ribut dengan
suaminya ketika membuka rekening dan membeli saham. (Dimaklumi, karena mereka
sempat menjadi korban produk-produk bodong para penjahat itu.) Namun trauma
tidak menyurutkan niat investasinya, sekalipun harus dengan tegas mengatakan
kepada suaminya, “Terserah jo! Ini demi masa depan anak...”.
Mendampingi
mereka, dua laki-laki, Pak Aswan (38 tahun) dan Pak Noldy (43 tahun). Yang
pertama adalah aparatur sipil negara, sekretaris di kelurahan, sedangkan yang
kedua adalah seorang buruh lepas di pelabuhan. Lihatlah, saat ini, menjadi
investor pasar modal (saham dan reksa dana)
sama sekali bukan lagi monopoli orang berpunya. Bukan juga hanya monopoli orang
pintar. Itu cerita puluhan tahun lalu, cerita usang, lupakan. Enam sosok di
atas menambah deretan investor dari kalangan yang dulu dianggap mustahil
menjadi investor. Mereka bergabung dengan para investor yang sebelumnya sudah
tercatat, seperti buruh pabrik, supir taksi, petugas satpam, mahasiswa, petani
lada, tukang ojek, tukang cendol keliling, dan masih banyak profesi
“terpinggirkan” lainnya.
Mereka
berenam tidak serta merta menjadi investor dadakan. Dibutuhkan tidak kurang
dari 15 kali kegiatan sosialisasi, dalam kurun waktu tiga minggu, di kecamatan
serta delapan kelurahan dan desa. Alhasil, 200 investor baru tercipta, dengan
lebih dari setengahnya adalah perempuan! Mereka dengan “sadar dan suka rela”
membuka rekening dan bertekad “menabung” secara rutin, dari gaji, upah, atau
uang pensiunan. Anda mau tahu saham yang telah mereka miliki? Bank BRI (5 dari
6 warga di atas memilikinya), Waskita Beton, Mayora, Unilever, Kalbe Farma.
Anda terkejut? Saya sangat.
(Saya
teringat awal tahun saat peresmian galeri investasi di salah satu perusahaan
tercatat di Cimahi, Jawa Barat. Lebih dari 400 karyawannya - total 500 lebih -
yang sudah menjadi investor, dan lebih dari 300 di antaranya adalah para
operator mesin, para pemilik saham perusahaan, para pemilik perusahaan tempat
mereka bekerja. Galeri disiapkan dengan sangat baik, terbuka untuk umum,
mengundang masyarakat Cimahi untuk belajar dan menjadi investor, termasuk
memiliki saham perusahaan tersebut, tentu saja. Anda pernah terpikir melakukan
itu untuk karyawan buruh anda dan masyarakat di sekitar anda? Anda pernah
membayangkan cinta dan loyalitas karyawan buruh anda dan masyarakat luas kepada
perusahaan anda saat mereka juga dengan bangga menyebut dirinya sebagai pemilik
perusahaan anda?)
Galeri
investasi, mungkin satu-satunya konsep yang ada di planet ini, terus dibuka.
Bukan hanya galeri investasi di kampus-kampus yang saat ini sudah lebih dari
350. Galeri investasi telah merambah desa, gampong, pangkalan ojek, kabupaten,
emiten, pasar-pasar tradisional, kantor dana pensiun, hotel, cafe, dan rumah
sakit. Akses ke bursa efek dan pasar modal terus dibuka. Akses untuk masyarakat
umum agar tahu dan belajar produk investasi yang sebenarnya. (Dan secara bijak
dapat membedakan dengan produk-produk bodong itu.) Akses untuk masyarakat luas
agar memanfaatkannya sebagai sarana investasi yang terjangkau, yang sederhana,
yang “kami-pun-bisa”.
Siang
itu, di luar gedung Balai Pertemuan Umum Kota Bitung - dua jam perjalanan darat
dari Manado - hujan turun dengan deras. Testimoni para investor tadi membuat
suasana terasa hangat di dalam gedung, setelah sebelumnya dua galeri investasi
baru saja ditandatangani perjanjiannya. Galeri investasi Kecamatan Maesa dan
galeri investasi Tim Penggerak PKK Kota Bitung. Dua-duanya adalah galeri investasi
pertama, di sebuah kecamatan dan di sebuah tim penggerak PKK. Galeri-galeri
yang diinisiasi oleh seorang wanita (Ibu Khouni Lomban - Rawung, istri Pak
Walikota yang super energik), dijalankan oleh wanita, dan dipelopori oleh
sekelompok wanita. Kita harus membuat sejarah. Dan sejarah telah dibuat di Kota
Bitung. Untuk Bursa Efek Indonesia, untuk Pasar Modal Indonesia, untuk
Perempuan Indonesia, untuk Indonesia. Sejarah juga tengah dibuat. Oleh Oma dan
para ibu rumah tangga itu, untuk anak cucu mereka...
“Kecerdasan pemikiran Bumiputera tidak akan maju jika perempuan ketinggalan dalam usaha itu. Perempuan adalah pembawa peradaban.” ~ RA Kartini
Artikel ini telah terbit sebelumnya di koran Investor Daily pada 27 April 2018