Memasuki
masa tenang tanggal 24-26 Juni 2018, setiap berjumpa kawan bahkan yang tidak
kenal sekalipun pertanyaan yang hampir selalu muncul adalah mau memilih siapa?
mau mencoblos nomor berapa? Lalu, percakapan hangat nan akrab pun mulai
meluncur dengan membandingkan semua pilihan calon yang ada. Semakin banyak
pilihan semakin seru diskusi, dan semakin banyak orang yang ikut nimbrung dalam
obrolan itu.
Sungguh
menarik, semua orang yang terlibat dalam obrolan-pun seakan-akan menjadi
pengamat yang militan layaknya seorang pakar politik seperti yang sering nampak
di televisi atau di radio. Sepertinya semua orang memiliki semua informasi
detail tentang semua kandidat Gubernur, Walikota dan Bupati.
Biasanya
obrolan akan semakin seru dan menegangkan apabila masing-masing ada fanatisme
terhadap kandidatnya dan seakan mau ikut kampanye dalam kelompok obrolan. Tidak
jarang ketegangan memuncak hingga tidak menyenangkan. Lalu, biasanya pula
lama-lama yang ngobrol-pun tinggal sedikit, yang lain menyingkir pergi. Bahkan
yang tertinggal hanya mereka yang satu kubu. Lalu bubar dengan sendirinya,
karena memang itu namanya hanya obrolan dan bukan rapat, bukan !?
Pilkada
Serentak 2018, diikuti 58% Penduduk Indonesia
Apapun
yang menjadi pilihan setiap pemilih itu adalah "hak yang mendasar sebagai
warga negara dalam negara yang menjunjung tinggi demokrasi", seperti
Indonesia yang sedang terus belajar menjadi Republik dan Negara yang Demokrasi.
Yang jelas, hari ini merupakan hari yang sangat khusus bagi Negeri ini, bahkan
menjadi tonggak sejarah yang harus dicatat dan dicermati. Pilkada Serentak 2018
akan diselenggarakan di seluruh Indonesia dan melibatkan sekitar separuh warga
negara yang ada di Republik ini.
Berdasarkan
data-data yang disebarluaskan oleh KPU Pilkada Serentak 2018 ini akan diikuti
oleh s152 juta pemilih, atau tepatnya 152.067. 680 pemilih yang terdiri dari
(i) 76.088.777 pemilih berjenis kelamin perempuan, dan (ii) 75.981.033 pemilih
berjenis kelamin laki-laki. Inilah peta populasi pemilih di Indonesia.
Bandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2017 sebanyak 262 Juta
orang. Berarti yang mengikuti Pilkada Serentak 2018 sebanyak 58% pemilih
dari total populasi penduduk Indonesia pada tahun 2017.
liputan6.com
Apabila
tidak ada yang memilih menjadi Golongan Putih -- GOLPUT, maka ada 152 juta
pemilih akan berduyung-duyung untuk datang ke Tempat Pemungutan Suara, TPS,
untuk mencoblos pilihannya, dan memilih calon Pemimpin di wilayah
masing-masing, demi kehidupan masyarakat yang lebih baik dan lebih maju lagi.
Berdasarkan
data-data pula yang di-release oleh
KPU, hajatan demokrasi 2018 ini diikuti oleh 171 daerah pemilihan, yang
tersebar di 17 Provinsi akan memilih Gubernur Barunya, 39 Kotamadya akan
memilih Walikota Barunya, dan 115 Kabupaten akan memilih Bupati Barunya. Ini
memang pesta demokrasi besar, bahkan melebihi pemilihan presiden di
negara-negara yang populasinya sedikit, seperti Singapura, Malaysia, Timor
Timur, Brunei Darusallam, Papua Nugini, dan beberapa negara kecil lainnya di
kawasan Asia.
Pilkada
serentak kali ini memang bukan termasuk yang sangat besar dibandingkan
dengan dua kali Pilkada serentak lainnya yang sudah dilakukan sebelumnya. Yang
paling besar adalah Pilkada Serentak 2015, diikuti oleh 269 Daerah Pemilihan
dengan rincian memilih 9 Gubernur Baru dan 260 daerah memilih Walikota/Bupati
yang baru. Sementara Pilkada Serentak 2017 diikuti oleh 101 Daerah Pemilihan
dengan rincian ada 7 daerah memilih Gubernur dan ada 94 daerah memilih
Walikota/Bupatinya.
Namun,
pesta Pilkada serentak kali ini akan sedikit lebih heboh, karena melibatkan
lebih banyak Pergantian Gubernur yang baru, yaitu sebanyak 17 Provinsi akan ada
Gubernur Baru hari ini. Dan tidak tanggung-tanggung lagi, karena melibatkan
Daerah Pemilihan yang sangat besar dan luas antara lain, seperti Jawa Barat, Jawa
Tengah, dan Jawa Timur, dan daerah panas Sumatera Utara serta daerah Papua yang
medannya sungguh tidak mudah dan gampang.
Dari
segi geopolitiknya, daerah-daerah pemilihan gubernur ini juga menjadi
representasi agenda politik tahun 2019 saat Pemilu Legislatif dan Presiden RI
2019. Dipastikan bahwa semua Partai Politik, Kontestan akan memanfaatkan
mati-matian moment Pilkada Serentak
2018 untuk menuju Pesta Demokrasi se Indonesia tahun depan. Ini artinya,
situasi akan betul-betul super sensitive,
super hot, dan potensial sekali terjadinya konflik horizontal maupun konflik vertical.
Sangat
wajar dan bisa dipahami kalau pihak pemerintah pusat dan daerah serta TNI-Polri
dan semua pemegang kepentingan akan harus super ekstra mengawal, menjaga, dan
mensukseskan pesta demokrasi besar ini demi masa depan Indonesia yang lebih
baik dan lebih maju.
Harga
Demokrasi itu Mahal, 20 Trilun Rupiah.
Sebagai
awam dan masyarakat pada umumnya mengertinya demokrasi itu adalah dari rakyat,
oleh rakyat dan untuk rakyat. Semua kembali kepada rakyat dan masyarakatnya.
Ungkapan yang sangat popular dari bahasa Latin yaitu Vox populi, vox
dei. Ungkapan ini terjemahannya adalah, "suara rakyat adalah suara
Tuhan." Yang maknanya suara rakyat harus dihargai
oleh siapapun sebagai penyampai kehendak Sang Ilahi.
Ungkapan
sederhana ini dimaknai oleh rakyat secara sederhana pula bahwa nantinya Sang
Pemimpin yang terpilih akan memperhatikan nasib dan masa depan dari mereka yang
telah memilih. Ini sangat bisa dimengerti dengan baik, namun dalam praktiknya
tentu tidak selalu seperti yang diharapkan oleh si rakyat ini. Bila sudah
terpilih Gubernur, Walikota atau Bupati, biasanya "sudah lupa dengan
rakyatnya", bahkan jarak dengan rakyatnya seperti langit dan bumi.
Disinilah
sesungguhnya letak persoalan bagi bangsa ini dalam membangun negeri ini untuk
lebih maju dan baik. Karena setelah terpilih, yang diprioritaskan oleh Sang Pemimpin
yang Terpilih adalah kepentingan pribadi, keluarganya, dan kelompok dan
partainya. Sehingga waktu lima tahun masa kepemimpinannya menjadi mubazir dan
sia-sia belaka untuk mewujudnyatakan harapan dari Vox Populi, Vox Dei.
Demokrasi
sangat baik dan indah bila dijalankan dengan betul sesuai norma dan aturan yang
berlaku. Itu sebabnya demokrasi tidaklah murah, tetapi mahal dan sangat mahal.
Tidak saja biaya yang besar harus dikeluarkan tetapi juga waktu dan tenaga
serta berbagai sumber daya harus dikeluarkan untuk mensukseskan pesta demokrasi
ini.
Pilkada
Serentak 2018 membutuhkan biaya hingga Rp. 20 Triliun. Ini angka potensial
sebab anggaran yang sudah ditetapkan sekitar Rp. 15 Triliun. Ini hanya dari budget yang disediakan oleh APBN saja.
Belum lagi anggaran yang harus disediakan dan dikeluarkan oleh setiap kontestan
dan parpol yang terlibat. Saya pikir angka-angkanya bisa berlipat dari angka Rp
20 Triliun itu. Multiplier effect-nya pasti sangat luar biasa dalam
kegiatan ekonomi selama proses Pilkada serentak ini.
Dengan
anggaran APBN sebesar Rp 20 Triliun ini memiliki nilai strategis yang bagus
bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2018 ini. Artinya memiliki dampak
yang berarti bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebab, sangat meyakinkan bahwa
anggaran sebesar itu akan merupakan anggaran habis terpakai atau konsumsi
kebutuhan penyelenggaraan pesta demokrasi. Seperti mencetak kaos, flyer, spanduk, leaflet, biaya transportasi, komunikasi, hingga ongkos para petugas
dilapangan dan sebagainya. Apabila angka multiplier
effect-nya sebesar 3 saja, maka pergerakan dana sebesar Rp20 Triliun itu
bisa menapai Rp60 triliun rupiah. Bayangkan bagaimana dana raksasa ini
menggerakkan dinamika ekonomi Indonesia. Kita akan menunggu hasil-hasil kajian
dan penelitian selanjutnya dari para ahli.
Rp20
triliun rupiah sebuah harga yang sangat mahal bagi sebuah pesta demokrasi di
negeri ini, pilkada serentak 2018. Angka yang cukup fantastic dibandingkan dengan dua kali Pilkada Serentak sebelumnya.
Tahun 2015, menghabiskan anggaran pemerintah sebesar Rp. 7,09 Triliun dengan
269 Daerah Pemilihan, dan tahun 2017 pemerintah menghabiskan dana sebesar Rp.
5,96 triliun dengan 101 Daerah Pemilihan.
Memang
anggaran tahun 2018 ini jauh lebih besar ketimbang tahun sebelumnya walaupun
relatif lebih sedikit jumlah wilayah pemilihannya. Untuk tahun 2018 jumlah dana
sebesar 20 triliun rupiah ini dibagi dalam tiga pot saja, yaitu (i) 11,9 triliun
rupiah untuk biaya KPU, (ii) 2,9 triliun rupiah untuk biaya Bawaslu, dan (iii)
339,6 milliar rupiah untuk membiayai TNI-Polri.
Angka-angka
anggaran ini menunjukkan bahwa penyelenggaraan pesta demokrasi tidaklah
sesederhana dan semurah makan di- "warung padang" saja. Kenapa?
karena yang dipertaruhkan adalah masa depan wilayah bahkan bangsa ini lima
tahun kedepan. Sehingga semua pihak berharap agar Pilkada Serentak ini
betul-betul berkualitas sesuai suara hati rakyat.
Bila
proses pilkada salah maka hasilnya akan salah memilih pimpinan yang terbaik,
dan anggaran sebesar 20 triliun akan sia-sia adanya. Bukan saja dana yang
terbuang tetapi juga "kehancuran, penderitaan, dan tekanan" selama
lima tahun akan dialami oleh rakyat. Akibatnya secara relatif daerah itu akan
tertinggal jauh, bukan hanya lima tahun yang hilang tetapi bisa 10 tahun atau
lebih karena daerah-daerah lainnya berkembang maju terus.
Bisa
diterima dan sangat dimengerti kalau pemerintahan Jokowi -- Jk menetapkan hari
Rabu 27 Juni 2018 sebagai libur nasional agar tujuan murni Pilkada Serentak
2018 bisa terwujud dengan baik demi Indonesia yang lebih maju dan baik. Hanya
saja, sangat disayangkan karena penetapan hari libur nasional ini baru
dilakukan pada last minute sehingga
persiapannya tidak terlalu efektif untuk mendorong para pemilih datang
semuanya. Semoga saja tingkat partisipasi pemilih kali ini bisa meningkat
dengan baik, seperti yang dialami oleh masa Pilkada DKI dan Pilpres saat Jokowi
memenangkan pertarungan.
Harapan
pada Pilkada Serentak 2018 : Vox Populi, Vox Dei.
Pada
saat terjadi ngobrol dengan teman-teman semua ketika ada pertanyaan muncul yaitu
apa sesungguhnya yang menjadi harapan Anda ? atau harapan kita ? atau harapan
Indonesia ? Biasanya ketika obrolan hangat dan tegang semua berusaha meyakinkan
bahwa kalai kandidat-nya dipilih maka dia akan memperhatikan nasib kami sebagai
rakyat miskin, yang lain bilang akan memperhatikan nasib kami sebagai
minoritas, dan yang lain lagi bermacam-macam. Semuanya berharap diperhatikan
dan menjadi hidup lebih baik.
Harapan
yang sangat wajar dan bisa dimengerti, karena memang Indonesia ini sangat
majemuk, beragam dalam segala hal. Akan menjadi sangat sulit memilih kalau
hanya mementingkan kepentingan sendiri saja. Yang benar adalah kepentingan
Indonesia secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan kemajemukan yang ada.
Walaupun ini sangat tak mudah bagi seorang pemimpin terpilih, tetapi inilah
realitas yang ada.
Mari
kita memilih kandidat Gubernur, Walikota dan Bupati yang berpihak kepada
Indonesia, NKRI, Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila-UUD 45 yang akan membawa
daerah kita menjadi lebih maju daripada lima tahun yang lalu. Agar para kandidat
Gubernur, Walikota dan Bupati memahami dan menyadari dan menanam dalam lubuk
hati dan dalam otak besarnya bahwa pesta demokrasi itu adalah bukan
dari-oleh-untuk Pemimpin tetapi dari, oleh dan untuk rakyat, sebab Vox
Populi, Vox Dei.
Ayo, mari ke TPS untuk mencoblos !