Sumber: gebhlog.blogspot.com
Bulog Menuju Kedaulatan Pangan dengan Brand KITA
Apakah Anda mengenal Bulog ? Maksud saya apakah Anda tahu Bulog itu
kepanjangan dari kata apa ? Lalu, apakah Anda juga mengerti tugas dan
fungsi pokok dari Bulog ini ?.
Bila Anda lahir dan besar di era Orde Baru, saya masih yakin bisa menjawab
pertanyaan-pertanyaan itu. Kalaupun tidak langsung atau lengkap jawaban Anda,
paling tidak bisa menjelaskan Bulog ini dekat-dekat dengan "masalah
apa", begitu. Tetapi, coba tanyakan kepada generasi milenial atau generasi zaman now.
Kira-kira apa jawaban mereka tentang Bulog dan produk-produknya ? Semoga Anda
tidak terkaget-kaget akan faktanya.
Selama seminggu saya coba melakukan survey sederhana dalam empat kelas mata
kuliah yang saya ampu. Jumlah mereka kurang lebih 114 mahasiswa, usia mereka
rata-rata 21 tahun, jadi kelahiran tahun 1997/1998-an, rata-rata berada di
semester 6,5, berimbang antara jumlah wanita dan laki-laki. Kepada mereka saya
minta mengisi questioner tentang :
Sebutkan singkatan dari kata Bulog, organisasi apa bulog ini, tugas utama Bulog
apa, tujuannya apa, sebutkan produk yang dihasilkan oleh Bulog, dan apakah Anda
pernah mendengar atau melihat atau membeli brand
KITA ?. Anda tahu apa jawaban mereka ? Nyaris semuanya tidak bisa menjawab dengan
benar. Bahkan istilah Bulog saja hanya sekitar 10% yang bisa menjawab dengan
benar. Apalagi pertanyaan yang lain, praktis jawaban mereka kosong sama sekali.
Tetapi, lalu saya memberikan kesempatan lagi kepada mereka untuk menjawab
kembali semua pertanyaan itu, dan saya memperbolehkan untuk menggunakan laptop
dan gawai mereka untuk mencari di internet, selama 20 menit. Dan hasilnya,
hampir 90% bisa menjawab dengan benar semua pertanyaan dalam questioner itu. Walaupun hasil survei sederhana ini tidak mewakili keseluruhan komunitas
Indonesia, tetapi menjadi menarik untuk dicermati. Artinya, bila hasil survei
ini dipakai untuk mewakili generasi milenial di Indonesia, yang saat ini
usianya bergerak dari 15-34 tahun maka jumlahnya sekitar 34,45% dari
total populasi, tentu saja ini menjadi "permasalahan serius bagi
Bulog". Sebab, 10 sampai 20 tahun kedepan generasi inilah yang akan
memiliki peran dalam dinamika ekonomi dan bisnis masyarakat Indonesia ini.
Tentu saja yang menjadi pertanyaannya adalah mengapa generasi ini tidak
mengenal Bulog dan semua produk-produknya? Atau generasi milenial tidak perlu
mengenal Bulog dan sepak terjangnya? Artinya, buat apa mereka harus mengenal
Bulog kalau tidak ada relevansinya dengan kegiatan dan kehidupan mereka?
Bulog dan Orde Baru
Mendengar nama Bulog tentu saja tidak lepas dari pemerintahan era
sebelumnya, yaitu Orde Baru atau ORBA. Bulog sebagai, Perum Bulog, Perusahaan
Umum Badan Urusan Logistik atau disingkat Perum Bulog adalah sebuah lembaga
pangan di Indonesia yang mengurusi tata niaga beras. Bulog dibentuk pada
tanggal 10 Mei 1967 berdasarkan Keputusan Presidium Kabinet Nomor 114/Kep/1967. Bulog lahir dan
bertumbuh dan menjadi besar dalam era kepemimpinan Soeharto yang identik dengan
Pemimpin Orde Baru. Sehingga segala persoalan yang muncul dalam pengelolaan
tata niaga beras selalu terkait dengan permasalahan pada era ini. Tak bisa
dipungkiri, Bulog menjadi warisan dari sebuah sistem dan kepemimpinan serta
manajemen masa orde baru itu.
Artinya, dengan sentralisasi kepemimpinan yang ada, maka urusan tata niaga
beras-pun relatif bisa dikendalikan, baik kebutuhan masyarakat maupun pasokan
yang dibutuhkan. Bahkan ketika kekurangan pasokan-pun pemerintah dengan mudah
bisa melakukan import sesuai
kebutuhan. Dan kelihatannya, semua oke-oke saja, Para petani-pun relatif tidak
ada gejolak untuk semua kebijakan yang diambil pemerintah.
Walaupun, "nasib petani tetap berada pada level yang tidak
menguntungkan", yaitu petani identik dengan kemiskinan, dan karenanya-pun
banyak orang tidak mau jadi petani, bila ada pilihan lain untuk bekerja.
Bulog dan Pasar
Memasuki era reformasi serta abad ke 21, Bulog memasuki dinamika pasar yang
jauh lebih terbuka. Pelaku pasar memiliki kesempatan untuk menjadi pelaku dalam
pemasokan maupun pembelian produk dan jasa, termasuk kebutuhan-kebutuhan primer
seperti kebutuhan pokok masyarakat, beras, minyak goreng, gula, daging dan lain
sebagainya. Situasi ini tentu ada jeleknya bagi Bulog maupun ada baiknya. Jeleknya adalah
dalam memasarkan produk-produk unggulannya harus bersaing dengan pemasok
lainnya, yang kualitas dan harga produknya lebih baik dari Bulog. Bahkan
cenderung Bulog selalu tertinggal beberapa langkah dibandingkan dengan
perusahaan-perusahaan lain dalam memasok produk unggulan yang dimilikinya.
Berita baiknya, dalam kondisi demikian, Bulog harus bekerja keras, kreatif
dan inovatif, tidak saja dalam meluncurkan produk barunya, tetapi terutama
dalam mengelola saluran distribusinya. Kalau tidak maka segment pasarnya tidak berubah, yaitu segment tertentu saja yaitu kelas menengah kebawah.
Strategi Brand KITA
Keberanian Bulog untuk mengembangkan sektor komersialnya, patut diapresiasi
dengan 5 bintang. Dengan produk unggulannya dibawah "bendara Brand
KITA" yang fokus pada produk Beras, Minyak Goreng, Daging, Gula dan
Terigu. Ini adalah salah satu indikator kuat Bulog mau berubah dan mau keluar
dari zona nyamannya selama ini. Sebagai permulaan tentu saja sangat baik dan perlu di-support. Tetapi, tidaklah mudah untuk tetap eksis apalagi menguasai
pasar sebagai pemimpin pasar. Bulog membutuhkan waktu yang cukup dengan upaya
yang terus menerus dan konsisten untuk menjaga keberadaan produk ini. Sebab, di
pasar tidaklah seindah yang diharapkan, karena disana akan banyak mafia-mafia
untuk memanipulasi pasar dan produk agar mendapatkan keuntungan
sebanyak-banyaknya.
Masalah yang dihadapi oleh Bulog paling tidak ada beberapa yaitu, pertama,
apakah spesifikasi dan kualitas produknya sudah sesuai dengan kebutuhan pasar
yang ditargetkan ?, kedua, apakah harganya mampu bersaing dengan
yang lain ?, ketiga, apakah saluran distribusinya memadai atau
tidak ?, dan keempat sejauh mana promosi yang dilakukan
efektif untuk mencapai segment
pasarnya. Sebetulnya ini adalah masalah klasik yang semua perusahaan paham
betul bagaimana mengelola marketing mix-nya. Kalau melihat hasil
survei sederhana yang saya lakukan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa promosi
produk unggulan Bulog belumlah efektif. Perlu pengkajian lebih mendalam untuk segment pasar lainnya. Jangan-jangan
mereka juga tidak kenal produk Bulog itu. Bila ini benar, maka segeralah
strategi diubah.
Saya mencoba menanyakan kepada beberapa Ibu Rumah Tangga apakah memilih
Beras Kita untuk dibeli ? Pada umumnya reaksi mereka pertama Beras Kita itu
apa? Saya lanjutkan bahwa itu produk unggulan Bulog. Dan umumnya mereka jawab,
"tidak ah, kualitasnya gak enak". Ini tidak representative tetapi
bisa jadi sebuah indikasi kecil untuk di kaji lebih lanjut.
Mencermati strategi brand KITA
menjadi menarik. Secara semantik konsepnya memang terkesan
"nasionalis", tetapi mungkin tidak menggigit apalagi kalau generasi
milenial mendengarnya mereka agak resistan. Kenapa, generasi Y atau Milenial
itu cenderung memiliki "ego yang tinggi", sehingga ketika mendengar
kata KITA, mereka merasa berbeda. Yang harus dilakukana oleh Bulog adalah usaha memasyarakatkan Bulog dengan
Strategi Brand Kita ini. Dibutuhkan
upaya ekstra dan terus menerus agar brand
ini menjadi icon ditengah-tengah
pasar. Apakah Bulog mampu melakukannya? Ini tak mudah karena promosi
besar-besaran yang dilakukan pesaingnya akan menenggelamkan upaya yang
pas-pasan saja.
Menuju Kedaulatan Pangan
Memahami tujuan besar Bulog adalah bersama mewujudkan kedaulatan pangan, berarti
melakukan pekerjaan besar, dengan sumber daya besar dan tentu saja pilihan
Strategi yang jitu. Dipahami bahwa kedaulatan pangan itu merupakan konsep
pemenuhan pangan melalui produksi lokal. Kedaulatan pangan merupakan konsep
pemenuhan hak atas pangan yang berkualitas gizi baik dan sesuai secara budaya,
diproduksi dengan sistem pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Mungkinkah Bulog mampu mewujudkan kedaulatan pangan ini Kenapa tidak
! Sangat mungkin, apabila pilihan strateginya tidak salah. Kalau Bulog sendiri
yang menjalankan mimpi ini, tentu saja mustahil dalam waktu singkat maupun
panjang (?). Pilihannya adalah melibatkan seluruh stakeholders, terutama berbagai jaringan pemain dalam pemenuhan
kedaulatan pangan ini.
Kalau demikian mungkin Strategi Aliansi menjadi pilihan yang cocok untuk
dijalankan. Dengan strategi ini maka Bulog harus membangun kerja sama dengan
semua pihak strategis yang terkait, mulai dari proses pensuplaian bahan baku,
proses produksi, sampai pada distribusi. Dan tidak kalah penting adalah kerja
sama dalam promosi besar-besaran produk unggulan bulog. Era pasar bebas, Bulog
harus mensejajarkan produknya dengan produk-produk lainnya. Sehingga konsumen
dapat memilih mana yang sesuai dengan kebutuhannya.
Sumber: industri.kontan.co.id
Saya membayangkan, ketika saya pergi ke sebuah mini market dekat rumah
saya, dan saat saya membeli gula, maka diantara semua merek terdapat salah
satunya MANISKITA, atau kalau beli tepung terigu disana ada pilihan TERIGU
KITA, atau MINYAK GORENG KITA, DAGING KITA. Dan ketika saya coba beli dan cocok
maka ketika habis saya akan membeli kembali. Apakah tersedia lagi MANIS KITA?
Kalau tidak ada saat saya membeli kedua dan ketiga kali, maka konsumen tidak
akan menjadikan dia loyal terhadap produk Bulog.
Inilah masalah Perilaku Konsumen yang harus mampu dibaca dan diantisipasi
oleh Bulog, dan pada arena itulah sesungguhnya medan pertarungan dan persaingan bisnis berada.
Yaitu merebut loyalitas konsumen untuk jangka panjang, kalau perlu untuk seumur
hidup. Dengan strategi
aliansi maka kemungkinan itu bisa diatasi dengan efektif, terutama ketika
bicara saluran distribusi yang sangat panjang untuk menjangkau sebanyak mungkin
dan sejauh mungkin masyarakat Indonesia sebagai target pasarnya. Bekerja sama
dengan semua Supermarket, Hypermarket, Minimarket, Midimarket, Koperasi maupun
yang lainnya.
Sosialisasi kepada seluruh stakeholders untuk mewujudkan kedaulatan pangan di Indonesia, menjadi agenda yang tidak boleh berhenti. Sebab, ada kesan sangat kuat bahwa untuk mewujudkan kedaulatan pangan itu hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja, khususnya hanya menjadi tanggung jawab Bulog sendirian. Ini tidak boleh terjadi karena menjadi tanggung jawab semua pihak strategis yang terkait !
Artikel ini sebelumnya terbit pada 26 Mei 2018 di Kompasiana
Juara 2 Artikel terbaik dalam kompasiana blogcompetition bulog