Paradigma Usang bagi Pemimpin Yang Gagal, Segeralah
Berubah ke Paradigma Baru
Tidak mudah menjadi seorang pemimpin dalam era
sekarang ini. Oleh karena perubahan yang terjadi begitu cepat, dan sulit
dideteksi apa yang akan terjadi besok atau bulan depan, maka dituntut kemampuan
extra dari seorang pemimpin untuk mengelola perubahan yang terjadi itu.
Era sekarang sering digambarkan dengan isu-isu global
yang mengarahkan perubahan yang terus terjadi, yaitu Sosial Media,
Globalisasi, Mobile commerce, Geopolitic war, Renewable techonologies and Smart
mechines, Outsourcing, Perubahan iklim dan kelangkaan sumber
daya, Telecommuting dan
virtual teams, Cybercrime, Redistribusi kekuatan ekonomi. Hal-hal
inilah yang diperhadapkan kepada seorang pemimpin.
Dengan dinamika perubahan seperti ini, harus diakui
bahwa tidaklah mudah mencari seorang pemimpin yang hebat atau pemimpin yang
efektif. Kecenderungan yang terjadi adalah krisis kepercayaan kepada seorang
pemimpin semakin meningkat, karena perilaku pemimpin banyak yang menipu dan
berbohong kepada pengikutnya, tidak setia pada janji dan sumpahnya. Kejadian
ini bisa diamati yang selalu muncul dalam pemberitaan, baik di media cetak
maupun di media televisi, sosial media dan sebagainya.
Seorang pakar dan penulis buku tentang Kepemimpinan,
Richard Daft (2016) dalam buku teksnya mencatat apa yang terjadi di Amerika
Serikat misalnya, dengan mengatakan bahwa "hampir setiap bulan ada
laporan baru mengenai seorang pemimpin yang berbohong, menyesatkan, atau menipu
karyawan, pelanggan, atau pemerintah. Tidak heran survei menunjukkan bahwa
kepercayaan terhadap pemimpin menurun dan kecurigaan atau ketidakpercayaan
terhadap pemimpin meningkat". Ini sebuah fenomena ironis di zaman
modern dan kemajuan teknologi informasi yang sangat canggih saat ini.
Walaupun harus diakui bahwa pemimpin yang berkualitas
dan hebat serta efektif banyak ditemukan dimana-mana, tetapi kecenderungan
peningkatan jumlah pemimpin yang gagal dengan perilaku yang tidak benar,
menjadi sesuatu yang serius untuk dicermati. Hasil-hasil penelitian menunjukkan
bahwa para pemimpin yang gagal, tidak berkualitas dan tidak efektif adalah
mereka yang masih mempertahankan Paradigma Usang (Old Paradigm Leader)
dalam memimpin.
Paradigma usang atau juga disebut paradigma
tradisional yang sudah tidak sesuai dan mampu lagi mengelola perubahan
yang terjadi di dalam organisasi, dan lebih banyak menciptakan permasalahan
dalam organisasi ketimbang kemajuan yang akan diraih.
Makna Dasar Kepemimpinan : Pemimpin dan Pengikut
Para peneliti Manajemen dan Kepemimpinan mengakui
bahwa definisi kepemimpinan ini berubah dan berkembang sangat luar biasa.
Bahkan seorang pakar kepemimpinan, James McGregor Burns menyimpulkan bahwa
kepemimpinan "adalah salah satu fenomena yang paling diamati dan paling tidak
dipahami di bumi." Mendefinisikan kepemimpinan telah menjadi
masalah yang kompleks dan sulit dipahami karena sifat kepemimpinannya sendiri
sangat kompleks dan terus menerus berubah.
Walaupun demikian, perlu sebuah pengertian sederhana
tetapi representatif tentang leadership atau kepemimpinan ini,
yaitu yang mengatakan bahwa "kepemimpinan adalah
hubungan yang saling mempengaruhi antara pemimpin dan pengikut yang
menginginkan perubahan dan hasil nyata yang mencerminkan tujuan bersama
diantara mereka"
Pengertian kepemimpinan ini menyimpulkan, terdapat
komponen kunci yang menjadi makna dasar tentang leadership itu,
yaitu (i). Kepemimpinan melibatkan pengaruh (Influence); (ii) Terjadi di
antara orang-orang; (iii) Orang-orang itu dengan sengaja menginginkan perubahan
yang signifikan; (iv) Perubahan mencerminkan tujuan bersama antara para
pemimpin dan pengikut (follower).
Kepemimpinan melibatkan pengaruh atau influence. Mempengaruhi berarti hubungan
antar manusia tidak pasif; namun harus dipahami bahwa yang mempengaruhi adalah
multiarah dan tidak memaksa. Saling mempengaruhi berarti ada timbal baliknya,
bukan saja pemimpin yang mempengaruhi tetapi pengikut juga dapat mempengaruhi
pimpinan. Di sebagian besar organisasi, atasan memengaruhi bawahan, tetapi
bawahan juga mempengaruhi atasan.
Orang-orang yang terlibat dalam hubungan kepemimpinan
menginginkan perubahan yang substantif, kepemimpinan menciptakan
perubahan, tidak mempertahankan status quo. Sebagai tambahan,
perubahan yang dicari tidak didikte oleh para pemimpin tetapi mencerminkan
tujuan para pemimpin dan bersama pengikutnya. Apalagi, perubahan adalah menuju
hasil yang baik bagi pemimpin dan para pengikut, masa depan yang diinginkan
atau tujuan bersama yang memotivasi mereka. Aspek penting dari kepemimpinan
adalah mempengaruhi orang lain untuk bersama-sama dalam satu visi, satu tujuan,
satu mimpi dan satu kapal. Dengan demikian, kepemimpinan melibatkan pengaruh
untuk membawa perubahan menuju masa depan yang diinginkan dan lebih baik,
berkualitas dan membahagiakan tentunya.
Selain itu, kepemimpinan adalah kegiatan manusia,
berbeda dari dokumen administrasi atau kegiatan perencanaan. Kepemimpinan
terjadi antara orang-orang, karena kepemimpinan melibatkan orang, sehingga
harus ada pengikut. Seorang ilmuwan, musisi, atlet, atau pemahat kayu dapat
menjadi pemimpin dalam bidang keahliannya tetapi bukan pemimpin sebagaimana
yang memiliki pengikut terlibat. Pengikut atau follower adalah
bagian penting dari proses kepemimpinan dan semua pemimpin terkadang juga
pengikut. Pemimpin yang baik tahu cara mengikuti dan mereka memberi teladan
bagi yang lain.
Salah satu stereotipe penting yang
harus dipahami dengan sungguh-sungguh, menyatakan bahwa pemimpin merasa bahwa
mereka berada di atas orang lain, ini tidak benar sepenuhnya. Karena
kenyataannya, kualitas yang diperlukan untuk menjadi pemimpin yang efektif
adalah sama dengan yang diperlukan untuk menjadi pengikut yang efektif.
Pengikut yang efektif berpikir untuk diri mereka
sendiri dan melaksanakan tugas dengan energi dan antusiasme sendiri. Mereka
berkomitmen untuk mengerjakan sesuatu di luar kepentingan mereka sendiri, dan
mereka memiliki keberanian untuk membela apa yang mereka percayai.
Pengikut yang baik bukanlah orang yang begitu saja
mengikuti seorang pemimpin. Pemimpin dan pengikut yang efektif kadang-kadang
bisa menjadi orang yang sama, memainkan peran yang berbeda pada waktu yang
berbeda. Kepemimpinan yang baik adalah kepemimpinan yang terdiri dari para
pemimpin dan pengikut dengan semua orang yang sepenuhnya terlibat dan menerima
tingkat tanggung jawab yang lebih tinggi.
Saat ini, harus dimengerti bahwa kepemimpinan itu bisa
saja datang dari siapa pun. Ketika kita berhenti menyamakan kepemimpinan dengan
kehebatan dari visibilitas publik, maka akan menjadi lebih mudah untuk melihat
peluang kita sendiri untuk kepemimpinan dan mengenali kepemimpinan dari
orang-orang yang berinteraksi setiap hari. Pemimpin datang dalam berbagai
bentuk dan ukuran, dan banyak pemimpin sejati bekerja di belakang layar.
Kepemimpinan yang memiliki hasil besar seringkali dimulai dari kecil.
Ada peluang untuk menjadi pemimpin di sekitar kita
yang melibatkan pengaruh dan perubahan menuju tujuan maupun hasil yang
diharapkan. Para pemimpin organisasi akan datang dari mana saja dan di mana
saja. Kepemimpinan adalah cara untuk bertindak dan berpikir yang tidak ada
hubungannya dengan jabatan atau posisi formal dalam organisasi.
https://www.natoma.com/
Kenyataan Baru bagi Seorang Pemimpin
Saat ini dan hari-hari mendatang, bila Anda sedang
dalam posisi seorang pemimpin maka hari-hari yang dihadapi dan dikelola dengan
benar adalah hal-hal yang berkaitan dengan isu-isu besar seperti Sosial Media,
Globalisasi, Mobile commerce, Geopolitic war, Renewable techonologies and Smart
mechines, Outsourcing, Perubahan iklim dan kelangkaan sumber
daya, Telecommuting dan virtual teams, Cybercrime, hingga
pada Redistribusi kekuatan ekonomi. Sebuah kenyataan, sebuah dunia
yang sama sekali berbeda sebelum 10 tahun yang lalu. Dan dipastikan akan terus
berubah dan berbeda dalam segala aspek, arah, dinamika, tantangan dan tentu
saja strategi mengelolanya.
Perubahan besar sedang terjadi di dunia berarti para
pemimpin saat ini menghadapi tantangan yang tidak dapat mereka lakukan bahkan
bayangkan beberapa tahun yang lalu. Dalam sebuah survei oleh Center for
Creative Leadership ditemukan bahwa sebesar 84 persen pemimpin yang disurvei
mengatakan definisi kepemimpinan yang efektif berubah secara
signifikan dalam beberapa tahun pertama abad kedua puluh satu yang baru
dijalani 15 tahunan ini. Bahkan sebelum teknologi informasi mobile dan sosial media mulai
membentuk kembali kehidupan pekerjaan sehari-hari. Keterhubungan dan mobilitas sosial
menjadi aspek utama yang harus dieklola oleh seorang pemimpin.
Hasil-hasil pemikiran para sejarawan dan bahkan para
ilmuwan percaya bahwa dunia kita sedang mengalami transformasi. Lebih mendalam
dan jauh jangkauannya daripada yang dialami sejak Zaman modern dan Revolusi
Industri lebih dari 500 tahun yang lalu. Pemimpin
hari ini beroperasi di dunia di mana sedikit yang pasti, kecepatannya tanpa
henti, dan segalanya lebih kompleks.
Paradigma Usang ke Paradigma Baru
Kenyataan dunia baru yang telah berubah sangat drastis
dalam segala aspek, maka pemimpin harus meninggalkan paradigma usang, paradigma
tradisional dan segera berpindah dalam wilayah paradigma modern yang lebih
maju. Transformasi ini membutuhkan transisi dari Paradigma Kepemimpinan
Tradisional masuk kedalam Paradigma Kepemimpinan Baru nan Modern.
Paradigma adalah pola pikir bersama yang mencerminkan
secara fundamental pola berpikir seorang pemimpin tentang melihat dan memahami
dunia ini. Atau secara sederhana dapat dikatakan bahwa paradigma adalah cara
memandang dunia ini dan dengan cara memandang demikian, akan menentukan sikap,
langkah dan perilaku mengelola dunia ini.
Dalam ranah kepemimpinan, dikenal juga paradigma
kepemimpinan yang usang dan sama sekali tidak efektif untuk mengelola organisasi,
karena akan banyak menimbulkan permasalahan ketimbang kinerja yang baik.
Terdapat lima macam paradigma usang seorang pemipin
yang tidak berkualitas dan akan menemui kegagalannya, yaitu (i).
Stabilazer, (ii). Controller, (iii). Competitor, (iv). Diversity Avioder, dan
(v). Hero.Sementara itu, ada juga lima aspek Kepemimpinan Paradigma Baru,
yaitu (i). Change Manager, (ii). Facilitator, (iii). Collabolator,
(iv). Diversity Promoter, dan (v). Humble.
Kesatu, From Stabilier to Change Manager
Di masa lalu, banyak pemimpin berasumsi bahwa jika
mampu melakukan hal-hal yang berjalan dengan baik terus menerus dan mantap maka
organisasi akan sukses. Namun dunia sekarang ada di dalamnya gerakan perubahan
yang konstan dan dijamin tidak ada lagi yang pasti. Jika seseorang pemimpin
masih memiliki ilusi adanya stabilitas pada awal abad kedua puluh satu ini
dipastikan organisasinya atau perusahaan yang dipimpinnya sudah hancur dan
gulung tikar.
Kejadian-kejadian maha dahsyat yang terjadi diberbagai
belahan dunia beberapa tahun terakhir menjadi bukti konkrit tentang terjadinya
gerakan perubahan yang memaksa seorang pemimpin untuk tidak lagi berpikir
stabilitas. Sekedar contoh, Gempa dahsyat di Jepang pada tahun 2011 memicu
gelombang tsunami besar-besaran dan merusak reaktor nuklir di pembangkit
listrik Daiichi Fukushima dan menyebabkannya penutupan beberapa perusahaan,
menciptakan gangguan rantai pasokan produsen di seluruh dunia. Setelah bencana
tersebut, para manajer di Tokyo Electric Power Company (Tepco) dikritik karena
gagal bertindak cepat mendinginkan reaktor di Fukushima.
Contoh lainnya, The Arab Spring,
sebuah gelombang protes revolusioner di dunia Arab itu dimulai pada akhir 2010,
telah menciptakan lingkungan yang hiruk-pikuk untuk bisnis yang beroperasi di
wilayah ini serta meningkatnya ketidakpastian dan ketidakstabilan perusahaan di
seluruh dunia. Ketidakstabilan tetap meningkat di seluruh dunia dunia Arab
menyebabkan masalah bagi organisasi lokal dan asing.
Lihat misalnya yang terjadi di Uni Eropa (UE), Spanyol,
Irlandia, dan khususnya Yunani mengalami kesulitan membayar hutang mereka,
menyebabkan kemungkinan perpecahan sistem euro (mata uang tunggal yang diadopsi
oleh negara-negara Uni Eropa). Pemimpin perusahaan multinasional melakukan
bisnis di negara-negara Uni Eropa harus bersiap menghadapi yang terburuk dan
mengambil langkah melindungi diri sendiri, serta mempertimbangkan apa yang akan
dilakukan jika kembali ke mata uang nasional.
Mempertahankan sesuatu yang stabil sesungguhnya
menjadi usaha yang sia-sia belaka. Yang dibutuhkan adalah upaya dan reaksi
gerak sangat cepat agar tidak ketinggalan mengikuti perubahan yang ada dan akan
terus ada. Bila perlu harus mendahului perubahan itu. Ini artinya paradigma
stabilitas tidak menjadi jawaban persoalan yang ada.
Pemimpin terbaik hari ini menerima keniscayaan
perubahan dan krisis dan memanfaatkannya, mereka sebagai sumber potensial
energi dan pembaharuan diri. Kemampuan beradaptasi adalah semboyan hari ini.
Bahwa kesuksesan organisasi hasil dari pemimpin yang bisa tetap tenang,
fokus, dan disiplin dalam menghadapi ketidakpastian dan perubahan yang tak
terelakkan.
Kedua, From Controller to Facilitator
Para pemimpin yang sedang berkuasa pernah percaya
bahwa kontrol yang ketat dibutuhkan organisasi yang berfungsi efisien dan
efektif. Hirarki organisasi yang ketat, pekerjaan terstruktur dan proses kerja,
prosedur yang terperinci dan mengikat semua orang, bahwa orang-orang di puncak
memiliki kekuatan dan mereka yang berada di bawah tidak memiliki kuasa apapun.
Saat ini, asumsi usang tentang distribusi kekuasaan
tidak lagi bisa diterima. Penekanan pada kontrol dan kekakuan berfungsi untuk
memadamkan motivasi, inovasi, dan moral sehingga bukan lagi menghasilkan
capaian yang diinginkan tetapi ambruknya moral dan semangat kerja karyawan.
Pemimpin yang efektif berbagi kekuasaan ketimbang
menimbunnya dan menemukan cara untuk meningkatkan kemampuan otak organisasi
dengan mendapatkan semua orang yang terlibat dan berkomitmen dalam organisasi.
Alih-alih menjadi pengendali, pemimpin adalah fasilitator yang membantu orang
melakukan dan menjadi yang terbaik dengan menghilangkan rintangan untuk
mencapai kinerja yang baik, membuat orang menyukai apa yang mereka butuh-kan,
memberikan kesempatan belajar, dan menawarkan dukungan dan umpan balik.
Ini berarti modal manusia menjadi lebih penting
daripada modal finansial. "Ide atau gagasan jauh lebih penting daripada
materi". Bila semua organisasi membutuhkan pekerja menjalankan mesin
delapan jam sehari, sistem komando dan kontrol tradisional umumnya bekerja
cukup baik, tapi kesuksesan hari ini tergantung dari kapasitas intelektual
semua karyawan. Salah satu tugas pemimpin yang paling menantang adalah yang
memungkinkan setiap orang untuk merangkul dan menggunakan kekuatan mereka
secara efektif bagi kemajuan perusahaan.
Ketiga, From Competitor to Collaborator
Dunia sekarang dikuasai oleh sosial media yang luar
biasa. Sehingga media sosial telah menempatkan konektivitas pada steroid,"
yang tampil dalam bentuk samar-samar nan kabur-kabur dan kadang-kadang
melenyapkan batas-batas di dalam dan di antara organisasi. Dalam jaringan yang
saling terkait usia, kolaborasi menjadi lebih penting daripada persaingan.
Artinya, perkembangan teknologi media sosial menempatkan paradigma usang
sebagai Pesaing/Competitor, sudah
tidak lagi relevan.
Karena kecenderungan orang saat ini menjadi menyatu
dalam sebuah kerja sama atau kolaborasi untuk menghadapi dan mengelola sesuatu.
Keberhasilan seorang pemimpin memanfaatkan ide, talenta, dan sumber daya secara
maksimal dari segala jenis dan sumber. Pemimpin yang paling berhasil
menekankan kerja tim, kompromi, dan kerja sama, tim self-directed dan
bentuk kolaborasi horizontal lainnya menyebar pengetahuan dan informasi di
seluruh organisasi.
Pemimpin yang efektif juga bekerja sama dengan
pemasok, pelanggan, pemerintah, universitas, dan organisasi lainnya. Ada trendyang
berkembang di dalam perusahaan yang menganggap diri mereka sebagai tim yang
menciptakan nilai bersama bukan sebagai entitas otonomi dalam persaingan dengan
yang lainnya. Kolaborasi menghadirkan tantangan kepemimpinan yang lebih besar
daripada konsep lama kompetisi.
Pemimpin pertama harus mengembangkan pola pikir
kolaboratif mereka sendiri dan kemudian menciptakan lingkungan kerja tim dan
komunitas yang mendorong kolaborasi dan saling mendukung. Mereka belajar
menjaga komunikasi tetap terbuka dan menggunakan pengaruh alih-alih menggunakan
wewenang mereka untuk memadamkan bahaya politik, dan bergerak maju.
Keempat, From Diversity Avoider to Diversity
Promoter
Banyak organisasi saat ini dibangun berdasarkan asumsi
keseragaman, pemisahan, dan spesialisasi. Orang yang berpikir sama, bertindak
sama, dan memiliki keterampilan kerja yang sama dikelompokkan ke dalam sebuah
departemen, seperti akuntansi atau manufaktur, terpisah dari departemen lain.
Kelompok homogen merasa mudah bergaul, berkomunikasi,
dan saling memahami. Pemikiran seragam yang muncul, bagaimanapun, bisa menjadi
bencana di dunia menjadi lebih multinasional dan beragam. Membawa keragaman ke
dalam organisasi adalah cara untuk menarik manusia berbakat terbaik dan mengembangkan
pola pikir organisasi yang cukup luas untuk berkembang dalam dunia
multinasional.
Mencari karyawan dengan usia, nilai, latar belakang
etnis, dan pengalaman kerja yang berbeda. Orang-orang memiliki gaya yang
berbeda, namun organisasi nampaknya bekerja lebih baik. Kelompok orang yang
berbeda peran, dan beragam pengalaman memungkinkan perusahaan untuk merespons
dengan baik untuk kinerja yang lebih baik.
Kelima, From Hero to Humble
Aspek terakhir dari paradigma kepemimpinan adalah
merasa menjadi pahlawan. Seorang pemimpin targetnya adalah menjadi orang yang
dianggap penyelamat dan paling besar di dalam sebuah organisasi. "Leader-as-hero", sebuah
paradigma usang yang sudah tidak berlaku lagi. Yang dibutuhkan sekarang adalah
paradigma baru, yaitu "leader-as-humble", mengenali
pemimpin dibelakang layar dengan susah payah yang dengan tenang membangun
perusahaan yang kuat dan tangguh dengan mendukung dan mengembangkan setiap
orang lain daripada memaksakan kemampuannya sendiri untuk sukses dan dianggap
pahlawan. Adalah seorang Abraham Lincoln yang memutuskan membuat pilihan
yang jitu di awal karir politiknya untuk menggunakan kemampuannya untuk
melayani kepentingan rakyat Amerika Serikat daripada memberi makan egonya
sendiri.
https://strategicleaders.wordpress.com
Salah satu alasan untuk beralih dari hero ke humble nan
rendah hati adalah kurang realistis untuk pemimpin individu menghadapi semua
tantangan di dalam tim atau organisasi yang keadaannya kompleks dan berubah
dengan sangat cepat. Pemimpin pahlawan mungkin lebih berisiko dan berani
membuat keputusan sendiri seringkali tanpa mempertimbangkan kebaikan yang lebih
besar, sedangkan pemimpin yang rendah hati akan meminta nasehat dan meluangkan
waktu untuk memikirkan konsekuensi yang mungkin timbul dari tindakannya.
Melihat perubahan dunia yang sudah mengglobal
habis-habisan ini, seakan tidak ada jarak lagi antara satu wilayah dengan
wilayah lainnya, seakan dunia ini telah menjadi sebuah "Global
Village" atau desa dunia, dimana kemajuan telekomunikasi,
komunikasi dan informasi menyebabkan konektivitas yang tinggi antara semua
manusia sejagat ini, maka
hanya pemimpin yang meninggalkan paradigma usang yang berhasil, dan berkualitas ketika dengan sungguh-sungguh
menerapkan Paradigma Kepemimpinan Baru.
Yang diinginkan saat ini dan dimasa yang akan datang, bukan lagi seorang Pemimpin Pahlawan, tetapi yang dirindukan adalah Pemimpin yang Humble !