Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menargetkan 5 juta investor reksa dana pada tahun 2020. Namun, sebelum berakhirnya tahun 2018, jumlah investor reksa dana masih di bawah 1 juta investor. Ini menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi OJK untuk mencapai target tersebut dalam dua tahun ke depan.

Berdasarkan data dari statistik Minggu ke-5 Oktober 2018 yang diterbitkan oleh OJK,  dana kelolaan (Total Net Asset Value/ TNAV) reksa dana sampai dengan tanggal 2 November 2018 di Indonesia telah mencapai Rp499,71 triliun, peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan dengan data lima tahun sebelumnya dimana TNAV reksa dana di Indonesia hanya mencapai Rp241,57 triliun. Namun kalau dibandingkan dengan dana pihak ketiga di sektor perbankan yang mencapai Rp5.482,5 triliun pada bulan September 2018, pencapaian TNAV masih terbilang masih rendah.

Sebagai perbandingan, berdasarkan laporan Invetsment Company Industry (ICI), sekitar 54,9 juta  rumah tangga (95 juta orang) atau 43,6 persen dari total rumah tangga di Amerika Serikat pada tahun 2016 memiliki reksa dana dalam portofolio mereka baik itu sebagai bagian dari investasi semata maupun sebagai bagian pengelolaan dana pensiun mereka (seperti pengelolaan skema pensiun 401(K)).

Sedangkan untuk perbandingan dengan negara berkembang, kita bisa membandingkan dengan dana kelolaan industri reksa dana di negara tetangga kita, Malaysia. Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Securities Commission Malaysia, pada akhir Maret 2017, nilai TNAV industri reksa dana di negara tersebut mencapai RM733,88 Milyar atau setara dengan Rp2.643 Triliun. Menariknya sekitar RM153,53 Milyar-nya merupakan reksa dana Syariah atau sekitar Rp553 Triliun.

Tentunya ini menjadi tugas bagi pemerintah dalam hal ini OJK dengan membangun sinergi dengan perusahaan investasi bagaimana menarik minat dan kepercayaan masyarakat untuk berinvestasi pada reksa dana. Penguatan pada industri reksa dana akan berefek positif pada pasar aset yang menjadi underlying asset dari reksa dana seperti pasar uang dan pasar modal.

Persoalan masih rendahnya dana kelolaan di Indonesia mungkin lebih kepada masih relatif rendahnya literasi keuangan masyarakat. Berdasarkan data dari OJK, tahun 2018 tingkat literasi keuangan keuangan masyarakat Indonesia masih sekitar 31%. Hal ini tentunya juga mempengaruhi kemelekan masyarakat terhadap produk investasi khususnya reksa dana.

Pemerintah melalui OJK harus bisa memberikan edukasi kepada masyarakat, meniru kesuksesan kampanye Yuk Nabung Saham (YNS) yang mampu menarik minat masyarakat untuk berinvestasi di pasar modal khususnya pasar ekuitas. Edukasi tersebut perlu ditekankan kepada tujuan dan manfaat yang akan didapatkan oleh masyarakat dengan memiliki reksa dana.

Padahal, masyarakat yang awam terhadap atribut investasi seharunya lebih terbantu dengan reksa dana dibandingkan dengan investasi langsung di pasar modal atau pasar uang karena dana mereka akan dikelola oleh manajer investasi yang telah memiliki sertifikasi nasional atau internasional. Selain itu, reksa dana juga memberikan keuntungan bagi masyarakat yang memiliki dana terbatas untuk memiliki well-diversified investments. Dengan pool of funds yang merupakan konsep utama reksa dana, portofolio seorang investor bisa didiversifikasi ke dalam banyak asset guna menurunkan risiko non-sistematis yang melekat pada aset-aset individu.

Langkah lain yang bisa dilakukan oleh OJK dalam menggairahkan investasi reksa dana adalah dengan mendorong perusahaan investasi melahirkan varian reksa dana yang lebih bervariatif lagi. Varian reksa dana memungkin investor memilih reksa dana sesuai dengan preferensi mereka. Belajar dari kesuksesan reksa dana di negara maju seperti AS, perusahaan investasi diberikan kemudahan dalam membentuk fund family dengan tetap mengacu kepada koridor aturan perlindungan investor untuk menerbitkan lebih banyak jenis investasi.

Fund family yang merupakan istilah kumpulan reksa dana yang dikelola satu perusahaan investasi merupakan strategi untuk menarik investor dari setiap ceruk pasar. Targetnya tentu adalah semakin besarnya net inflow suatu perusahaan investasi yang berasal dari investor dengan beragam preferensi. Kehadiran fund family juga bermanfaat bagi investor yang ingin melakukan internal diversification, dimana investor bisa memiliki beberapa jenis reksa dana yang ditawarkan oleh satu perusahaan investasi.

Varian yang pertama mungkin sedang populer adalah conventional dan non-conventional funds. Reksa dana non-konvensional adalah reksa dana yang tidak hanya menggunakan financial constraints dalam pemilihan aset portofolio tapi juga kriteria non-financial. Salah satu yang paling populer saat ini adalah reksa dana Syariah yang menggunakan konsep nilai-nilai Syariah dalam pemilihan aset. Reksa dana ini ditargetkan akan menarik dana dari ceruk investor yang peduli terhadap Sharia compliance dalam aktifitas investasi mereka. Selain itu, untuk menarik dana kelolaan dari investor yang peduli terhad isu Environmental, Social, Governance (ESG), banyak perusahaan investasi terutama di negara maju telah menerbitkan reksa dana Socially Responsible Investment (SRI), dimana aset investasi reksa dana tersebut hanya fokus pada sekuritas perusahaan yang mampu memenuhi ESG compliances.

Tidak jarang perusahaan investasi sekelas Vanguard, Fidelity, American Funds, Blackrock, Goldman Sachs dan lain-lain memiliki reksa dana konvensional dan non-konvensional sekaligus dalam fund family mereka.

Varian jenis reksa dana lainnya mungkin didasarkan kepada aktif atau pasifnya suatu reksa dana. Investor dengan profil risiko yang lebih tinggi mungkin akan menyukai active fund dimana manajer investasi akan lebih sering melakukan restrukturisasi portofolio melalui kemampuan mereka dalam memilih aset yang berpotensi menghasilkan gain yang lebih tinggi. Sementara investor dengan profil risiko rendah seperti lembaga pensiun mungkin akan lebih menyukai reksa dana pasif, yang memiliki turnover rendah (cenderung buy and hold).

OJK juga bisa mendorong lahirnya varian reksa dana yang didasarkan kepada kategori aset portofolio mereka. Di reksa dana saham, misalnya, kita mengenal varian reksa dana dengan kategori saham growth, large-cap, small-cap, value dan lainnya. Varian ini bertujuan menarik investor yang memiliki preferensi yang berbeda terhadap risiko dan  kategori underlying asset.

Selanjutnya, perusahaan investasi juga seharusnya dimotivasi dan diberikan peluang untuk menerbitkan shared-class funds. Konsep reksa dana ini adalah satu reksa dana memiliki beberapa varian yang didasarkan kepada varian fee yang akan dibayar oleh beragam jenis investor. Di negara maju seperti AS, suatu reksa dana biasanya memiliki beberapa jenis seperti A, B, C, I dan lain-lain dimana satu reksa dana memiliki fee yang berbeda untuk investor yang berbeda. Reksa dana jenis I misalnya cenderung memiliki fee yang lebih rendah karena diharapkan dapat menarik dana yang lebih besar dari investor institusi seperti dana pensiun dan asuransi.

Bentuk variasi reksa dana lain bisa didasarkan kepada cara beli dan jual yang biasanya di kategorikan dalam dua bentuk yaitu Open-end funds  dan Close-end funds. Beberapa dana kelolaan lainnya juga kadang dikategorikan sebagai reksa dana dan memiliki tren perkembangan yang cukup bagus dalam beberapa tahun belakangan. Hedge Fund yang populer bagi wealth investor di beberapa negara maju bisa dikatakan sebagai bentuk varian reksa dana lainnya. Exchange Traded Funds (ETF) yang juga sudah populer di pasar modal berkembang termasuk Indonesia juga merupakan bentuk dana kelolaan yang memiliki potensi untuk dikembangkan.

Tentunya pemerintah perlu mempersiapkan payung hukum dan aturan-aturan terutama dalam hal perlindungan investor.  Negara dengan aturan yang ketat seperti AS kadang masih ditemukan celah yang bisa dimanfaatkan oleh segelintir pihak untuk meraup keuntungan secara ilegal dan merugikan investor seperti skandal reksa dana tahun 2003 yang dilakukan oleh segelintiran pihak dengan penyalahgunaan praktik late trading dan market timing.


Artikel ini telah terbit sebelumnya di Harian Bisnis Indonesia, Selasa 4 Desember 2018