Seorang direksi senior yang mewakili dewannya menyatakan dengan sangat tegas dan sangat jelas, bahwa mereka hanya mau mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia. Tidak di negara lain. Berapapun dan betapapun banyaknya tawaran insentif menarik yang disodorkan kepada mereka. Mereka ingin sahamnya dengan mudah juga bisa dimiliki oleh para investor retail Indonesia. Berbagi keuntungan perusahaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Awal tahun lalu saya mendengar pernyataan yang senada dari pengusaha lain, di pulau lain. (“Go Public, Untuk Siapa?” Februari 2017). Perasaan saya sumringah. Seketika saya teringat lagu almarhum Gombloh.
Perusahaan privat yang sudah layak menjadi perusahaan publik, selalu memiliki pilihan. Untuk tetap menjadi perusahaan tertutup atau menjadi terbuka. Dan bila terbuka, memang ada pilihan lainnya selain BEI, yaitu tercatat di bursa efek negara lain. Negara-negara tetangga dari dulu dan hingga kini selalu gencar menarik minat perusahaan-perusahaan Indonesia untuk listing di bursa efek sana. Apalagi saat ini, ketika mereka memasuki “musim kering”. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, perusahaan yang baru go public di bursa-bursa Asia Tenggara, kecuali Thailand, tercatat stagnan pertumbuhannya, bahkan minus. Bandingkan dengan Indonesia yang mencatatkan pertumbuhan lebih dari 15% dalam kurun waktu yang sama. Tentu saja mereka tidak tinggal diam dan berusaha dengan segala cara untuk “mendapatkan” perusahaan-perusahaan dari negara lain, termasuk para pengusaha kita. Berkunjung ke rumah kita dan menawarkan lapangan rumputnya untuk anggota keluarga kita. Rumput tetangga memang selalu lebih hijau sih. Tapi tetap saja itu rumput tetangga.
Diperlukan nasionalisme tinggi, seperti ditunjukkan dewan direksi perusahaan di atas, untuk menampik segala tawaran dan iming-iming itu. Kita mungkin pernah mendengar ungkapan bahwa uang tidak memiliki kewarganegaraan, namun pernyataan dan pemikiran itu tidak seharusnya berlaku untuk kita terhadap tanah air kelahiran kita sendiri. Tanah air yang membesarkan kita. Tanah air yang membesarkan bisnis dan usaha kita. Pemikiran itu mungkin hanya berlaku kalau kita memarkir uang kita di negara lain, sama persis seperti para investor asing yang investasi di negara kita, yang kapanpun bisa masuk dan keluar sesuai kepentingan untung rugi semata. Nasionalisme kan sepatutnya tidak pernah berhitung untung dan rugi. Dia harga mati, yang tidak mengenal istilah tawar-menawar, benar dan salah. (Saya teringat dan selalu kagum dengan pernyataan John F. Kennedy yang terkenal itu.) Jadi, untuk perusahaan-perusahaan Indonesia yang listing di bursa efek luar negeri, kembalilah, catatkan juga saham Anda di sini. Kembalilah ke halaman rumah sendiri. Berbagilah dengan masyarakat sendiri. Terima kasih kepada dewan direksi yang kami temui kemarin, Andalah Indonesia. Dan semoga menjadi contoh ideal untuk perusahaan-perusahaan yang berencana go public di masa yang akan datang.
Lalu bagaimana dengan perusahaan-perusahaan yang sudah layak dan sangat layak go public tetapi masih saja tertutup? Bicara mengenai keuntungan dan manfaat menjadi perusahaan publik kepada perusahaan-perusahaan tertutup ini rasanya sudah tidak perlu lagi. Manfaat mencatatkan saham di BEI dari aspek pendanaan, perpajakan, tata kelola, regenerasi, image, dan lain-lain, begitu banyak. Dan perusahaan-perusahaan ini mungkin tidak membutuhkannya karena mereka telah memilikinya. Tetapi ada satu manfaat menjadi perusahaan tercatat di bursa efek yang dikesampingkan, yang sering terabaikan, padahal dampaknya begitu luas. Bukan dari sudut pandang perusahaan dan pemiliknya, namun dari sisi masyarakat.
Masyarakat kita telah mengkonsumsi produk perusahaan-perusahaan ini bertahun-tahun, menggunakannya dalam kehidupan kita sehari-hari, menerima layanannya dari waktu ke waktu. Tetapi masyarakat tidak pernah mendapatkan kesempatan menjadi bagian dari perusahaan-perusahaan itu. Kalau konon katanya, salah satu kunci sukses adalah menjadi pemilik perusahaan, begitu banyak rakyat Indonesia tidak bernasib baik, bukan lahir dari keluarga pengusaha atau mampu membangun usaha sendiri. Bursa efek menjadi harapan masyarakat untuk bisa menjadi pemilik perusahaan. Mungkin satusatunya harapan. Menjadi perusahaan publik dan menawarkan saham di lantai bursa adalah bagian daripada pemerataan kesejahteraan. Menjadi aset negara, aset bangsa, aset masyarakat. Masyarakat luas dan para konsumen mungkin sangat ingin juga menjadi bagian kecil dari pemiliknya, investor pastinya akan memasukkan saham perusahaan-perusahaan itu dalam daftar portofolio investasinya, bahkan jangan-jangan karyawan perusahaan itu sudah bertahun-tahun bermimpi suatu saat menjadi owner juga di perusahaan mereka bekerja. Masyarakat, konsumen, investor, dan karyawan sangat layak menjadi subyek, bukan sekedar obyek. Dan perusahaan-perusahaan tertutup ini sangat bisa membantu meningkatkan kesejahteraan mereka. Jadilah terbuka. Berbagilah, dan Anda akan mendapat lebih.
Oleh : Nicky Hogan
Direktur Bursa Efek Indonesia