Dalam kurun waktu 2006 – 2016 indeksnya mampu memberikan tingkat pengembalian sebesar 193%, relatif besar jika dibandingkan pasar modal di negara maju (pada kurun waktu yang sama S&P 500 memberikan tingkat pengembalian 58%). Secara historis tingkat pengembalian yang ditawarkan ini sangat menarik bagi investor yang memiliki time horizon investasi jangka panjang.
Selain itu, pada kurun waktu yang sama dari 543 perusahaan yang sudah tercatat di Bursa Efek Indonesia (sampai Mei 2017) sebesar 69,4% perusahaan menunjukkan pertumbuhan nilai. Sebuah prestasi yang luar biasa karena walau belum banyak perusahaan yang tercatat, namun mayoritas dari perusahaan tersebut memberikan apresiasi nilai bagi para investornya. Hal ini menambah tingkat kemenarikan dari pasar modal Indonesia untuk investor yang cukup sabar untuk melakukan strategi buy and hold dalam jangka waktu yang relatif lebih lama.
Investor
yang memiliki jangka waktu investasi yang panjang dan tingkat kesabaran cukup
baik sering disebut dengan tipe value
investor. Mereka memiliki strategi investasi yang cukup sederhana yaitu
beli ketika harga saham di bawah fair
value nya, pilih saham dari perusahaan dengan economic moat yang cukup kuat, dan jangan tergesa-gesa ketika
mengambil keputusan investasi. Dengan strategi tersebut para value investor berharap mendapatkan
saham-saham diskon yang nilai belinya di bawah fair value nya dan dapat melepaskannya ketika nilai saham sudah
mencapai fair value nya atau bahkan
lebih.
Banyak contoh value investor yang berhasil, yang
paling terkenal tentunya adalah Warren Buffet. Dari strategi investasinya
tersebut beliau mampu mencatatkan average
annual return sebesar 20% sejak 1968 – 2011. Dia memiliki time horizon investasi yang sangat
panjang dan terkenal dengan ucapannya yang menyatakan “the best time to sell is never”. Buffet sangat menekankan pada
pemilihan saham pada perusahaan yang tepat dalam proses membentuk
portofolionya.
Selain dari luar negeri, banyak
juga contoh value investor asal
Indonesia yang berhasil menerapkan strategi investasi ini di dalam negeri.
Sebut saja Lo Kheng Hong, beliau mampu mendapatkan pengembalian senilai Rp
44,78 miliar dari saham PTRO. Strateginya juga sama, beliau membeli saham yang
nilainya di bawah fair value. Ketika
harga turun beliau menganggap hal tersebut sebagai kesempatan untuk mengoleksi
saham-saham perusahaan yang sudah diincarnya sejak lama namun harganya belum
pas.
Tentunya jika strategi value investing ini diterapkan oleh para
investor di Bursa Efek Indonesia dapat menghasilkan potensi besar dari segi
tingkat pengembalian. Karena secara historis sudah terbukti IHSG mampu
menghasilkan tingkat pengembalian yang luar biasa besar jika dibandingkan dengan
indeks dari negara lain dalam kurun waktu 10 tahun.
Namun menerapkan strategi ini
dan mencicipi hasil manisnya bukanlah hal yang mudah, karena diperlukan
pengalaman dan keahlian dalam membaca kondisi pasar. Para pesohor value investing yang mampu mencetak
tingkat pengembalian luar biasa besar tentunya adalah pribadi-pribadi yang
sudah matang di pasar modal. Pengalaman dan keahlian mereka sudah teruji dalam
berbagai macam kondisi pasar, baik pasar bullish
maupun bearish. Strategi
portofolionya sudah teruji dalam waktu lama.
Tingkat literasi pasar modal di
masyarakat Indonesia pun masih sangat rendah. Menurut Survei Nasional Literasi
dan Inklusi Keuangan (SNLIK) tingkat literasi pasar modal baru 4,4% dan
inklusinya 1,3%. Kondisi ini menandakan bahwa masih sangat kurang pengetahuan
masyarakat tentang pasar modal, apalagi tentang strategi value investing. Dibutuhkan strategi edukasi khusus yang
mempermudah masyarakat untuk memahami dan memanfaatkan strategi ini, sehingga
mereka turut dapat mencicipi manisnya tingkat pengembalian dari pasar modal
negaranya sendiri. Jangan sampai pasar modal yang berkembang ini hanya
dirasakan oleh sebagian masyarakat Indonesia.
Di jurnalnya yang berjudul
“Value Investing: The Use of Historical Financial Statement Information to
Separate Winners from Losers”, Joseph D. Piotroski mencoba menentukan
rasio-rasio sederhana yang dapat membantu menentukan apakah suatu saham
tersebut cocok dimasukkan ke dalam portofolio seorang value investor atau tidak. Jika hal ini bisa dilakukan tentunya
akan mempermudah pemilihan saham yang cocok untuk para investor dengan waktu
investasi yang panjang.
Pemanfaatan hasil risetnya cukup
sederhana dan relatif lebih mudah dipahami. Model penelitiannya membuat 9
kriteria dan membaginya ke dalam 3 grup. Semakin banyak kriteria yang dipenuhi
maka akan semakin baik pula saham perusahaan tersebut untuk investasi jangka
panjang. Investor yang sudah paham dalam membaca laporan keuangan dan melakukan
perhitungan rasio keuangan sederhana dapat langsung menggunakan metode dari
Piotroski ini yang sering juga disebut sebagai Piotroski F-Score.
Grup pertama adalah
profitabilitas, menggambarkan seberapa perusahaan tersebut dapat menciptakan
profit dari pemanfaatan aset-asetnya. Terbagi menjadi 4 kriteria. Pertama
adalah return on assets, berikan skor
1 jika ROA-nya positif dan 0 apabila negatif. Yang kedua adalah operating cash flow, berikan skor 1 jika
perusahaan mampu menghasilkan operating
cash flow yang positif. Kemudian yang ketiga adalah perubahan dalam return on assets, berikan skor 1 jika
ROA tahun ini lebih besar daripada ROA tahun sebelumnya. Kriteria ke empat
adalah accruals, berikan skor 1 jika operating cash flow/total aset lebih
besar daripada ROA di tahun ini. Total skor maksimal yang mungkin didapatkan
dari grup profitabilitas adalah 4.
Grup kedua adalah leverage, liquidity, dan sumber dana. Grup ini terbagi menjadi 3 kriteria,
yang pertama adalah perubahan pada leverage.
Berikan skor 1 jika rasio leverage tahun
ini lebih rendah dari tahun sebelumnya. Yang kedua adalah perubahan pada rasio current, berikan skor 1 jika current ratio tahun ini lebih tinggi
dari yang tahun sebelumnya. Kemudian yang ketiga adalah source of funds, berikan skor 1 jika perusahaan tidak menerbitkan
saham baru pada tahun ini. Pada grup ini skor maksimal yang bisa dikumpulkan
adalah 3.
Kemudian yang terakhir adalah grup 3 yang bertemakan efisiensi operasional. Hanya terdiri dari 2 kriteria. Yang pertama adalah perubahan gross margin, berikan skor 1 jika gross margin tahun ini lebih tinggi dari yang tahun lalu. Kemudian kriteria kedua adalah asset turnover, berikan skor 1 jika asset turnover ratio tahun ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan asset turnover ratio tahun sebelumnya.
Berikut adalah contoh perhitungan dan penggunaan strategi ini:
Strategi
yang bisa diterapkan dari model ini cukup mudah, yaitu long saham-saham dari perusahaan yang memiliki skor dengan nilai 8
atau 9, jika cukup agresif 7 juga boleh. Kemudian jika mau menggunakan strategi
short, bisa melakukan short pada saham-saham dengan nilai 0,
1, atau 2. Artinya adalah saham perusahaan M layak untuk diambil posisi long karena memiliki nilai 8. Lakukan
peninjauan ulang tiap mereka mengeluarkan laporan tahunan, kemudian lakukan
pengkinian dengan mengeluarkan saham-saham yang skornya menurun dan masukan
saham-saham yang skornya menjadi 8 atau 9. Pada penelitiannya Joseph D.
Piotroski mengatakan bahwa jika hal ini dilakukan sepanjang tahun 1976 – 1996,
maka akan menghasilkan average annual
return sebesar 23%.
Oleh : Vigilius Tridian Caraka
Capital Market Professional Development Program 2017