Seakan
mengulang peristiwa seminggu yang lewat ketika harga saham di BEI "seakan
mengamuk" pada hari Kamis tanggal 26 Maret 2020, hari ini IHSG semakin
perkasa seakan tak terbendung terus menguat.
Baik sesi
perdagangan pagi, pukul 09.00 - 11.30, maupun saat sesi perdagangan siang
yang dimulai pukul 13.30 dan nanti akan berakhir di pukul 15.00.
Bahkan tepat dipukul
14.05, IHSG telah menyentuh angka 4.614,33, atau setara pertambahan sebesar
+82,64 poin, atau sekitar 1,82%, yang berarti sudah berada pada
level resisten. Bahkan sangat mungkin bisa menembus angka resistensi tertinggi
pada penutupan pasar diatas 4.700-san
Ini berita sangat baik dan bagus sebagai indikator yang memberikan konfirmasi
kepada pelaku investasi di bursa efek, khususnya Bursa Efek Indonesia.
Sebab, dinamika bursa
efek yang dicerminkan dari IHSG akan menjadi sebuah petunjuk situasi pasar uang
dan perekonomian Indonesia. Artinya pula, semakin meningkat IHSG, maka
perekonomiannya dianggap stabil, baik dan dipercaya oleh investor.
Sebab, tidak ada
investor yang akan berinvestasi di saham kalau tidak yakin bahwa pengelolaan ekonomi negara ini
tidak beres. Ada kepercayaan yang semakin tinggi kepada rezim pemerintah yang
berkuasa.
Sejumlah teman dan
anggota komunitas investor yang saya ikuti terus mengajukan pertanyaan, mengapa
IHSG hari ini seakan mengamuk lagi seperti yang terjadi pada hari Kamis minggu
yang lalu. Dan apakah minggu depan akan terjadi penguatan kembali IHSG dan menembus
angka 5000-an?
Pertanyaan ini terus
mengalir dalam diskusi sejak sekitar tiga minggu yang lalu melalui artikel
saya, menasehatkan kepada investor untuk memborong dan mengoleksi saham-saham
di BEI karena harganya sudah sangat undervalued.
Dan tesis yang saya
ajukan adalah IHSG pasti akan kembali normal ke angka 6000-an yang sudah
dicapai beberapa tahun terakhir ini. Banyak yang memanfaatkan nasehat ini,
tetapi lebih banyak yang pilih sikap wait and see.
Penyebab dasar yang
mengikat semua sumber anjloknya harga saham di BEI dan juga nyaris hampir semua
bursa di dunia adalah dipicu oleh wabah virus corona, atau Covid-19.
Pandemi p-19 seakan
membuat dunia menjadi stagnan, karena menyentuh langsung interaksi manusia
dalam dunia sosial, ekonomi, politik dan sebagainya, sedemikian rupa sehingga
setiap orang lebih berada di rumah saja untuk melakukan kegiatannya agar
terhindar dari terinfeksi virus misterius ini.
Masyarakat menjadi
panik, kuatir, bahkan menjadi paranoid sehingga mendorong mereka untuk bertindak
berlebihan dalam banyak hal. Termasuk menarik dana-dana mereka dari bursa efek
sehingga harga saham terdorong menurun dengan drastis.
Akan tetapi, kepanikan,
ketakutan dan paranoid lainnya semakin menurun dan publik mulai menjadi
rasional, mampu mengelola diri sendiri.
Selain efek Covid-19
dan mempengaruhi faktor lainnya, sesungguhnya salah satu faktor kunci yang
menjadi penentu adalah pergerakan harga minyak mentah dunia yang selama satu
bulan terakhir sempat berada pada titik nadir terdalam.
Sedemikian rupa
sehingga mendorong sikap investor untuk melepas saham-saham mereka. Alasannya
wajar saja, kalau terus harga minyak mentah dunia melorot, maka akan
mempengaruhi langsung dinamika dunia industri energi. Dan dari industri energi
dunia akan berdampak luar biasa kepada sektor lain.
Bagaimana memahami efek
domino dari harga minyak mentah dunia ini kepada harga saham? Lagi-lagi
sangatlah sederhana, yaitu ketika pandemi covid-19 diberlakukan oleh WHO, maka
permintaan akan minyak dunia semakin menurun dan menurun. Tercatat pada awal bulan
Maret 2020, penurunan permintaan akan minyak dunia itu sekitar 20 sampai dengan
30%.
Akibatnya adalah
pasukan atau suplai lebih besar dari permintaan. Akhirnya harga minyak mentah
dunia menurun drastis juga. Di pasar AS sendiri, harga minyak mentah AS turun
dibawah 20$ As perbarel, dan tentu saja ini membawa implikasi berat bagi dunia
perekonomian AS, dan juga ekonomi seluruh jagad raya ini.
Kunci penyelesaian
harga minyak mentah dunia adalah bagaimana agar harganya menaik dan tidak
semakin menurun, adalah pasukon minyak dipasar harus diturunkan jumlahnya. Ini
artinya, produksi minyak dunia harus dikurangi agar sesuai dengan permintaan
saja dan dengan demikian harga akan stabil.
Siapa yang akan
menurunkan jumlah produksi minyak? Tentu saja para produsen minyak itu sendiri.
Disana ada anggota OPEC dan ada anggota non opec akan memberikan kontribusi
penting bagi penurunan produksi ini.
Kesepakatan dicapai
setelah orang nomor satu AS, Presiden Donald Trump, berjumpa dengan Putra
Mahkota Raja Arab Saudi, Muhammed Bin Salman, dan Presiden Rusi, Vladimir Putin
maka penurun produksi setiap negara besar penghasil minyak mentah disepakati
pada hari Senin 30 Maret 2020 yang lalu.
Dan hasilnya luar
biasa, karena langsung di respon oleh pasar modal dengan melakukan investasi di
sejumlah saham. Tidak saja di AS, Eropa tetapi juga di Asia dan Indonesia
sendiri.
Tidak
tanggung-tanggung, harga minyak mentah dunia langsung melesat ke angka 25%-an.
Setelah masing-masing negara Arab Saudi, AS dan beberapa negara besar lainnya
bersedia mengurangi produksi mereka untuk permintaan pada delivery bulan Mei
2020.
Negara Arab Saudi
berseid menurunkan produksinya dari 12 juta barel perhari menjadi 8 juta barel
perhari, AS juga menurunkan hingga 10 juta barel perhari.
Dalam dunia percaturan
harga saham, memang faktor harga minyak mentah dunia selalu menjadi isu sentral
yang menggerakkan dinamika bursa efek diseluruh dunia.
Di sana ada
sensitivitas yang sangat tinggi antara harga minyak dunia dengan
harga saham. Dan karenanya sering juga menjadi arena abu-abu yang dimainkan
sebagai alat politik dalam dunia "persilatan" dunia ini.
Menaarik dicermati
karena sesungguhnya, betul ada persaingan, tetapi juga disana ada saling
ketergantungan yang sangat tinggi. Karena pasar konsumen sesungguhnya sebagian
besar ada di luar negara produsen minyak itu sendiri.
Produksi sendiri hanya
kepentingan sendiri, tetapi sumber devisa mereka akan lebih banyak dari ekpor
ke negera konsumen yang tersebar diseluruh dunia.
Harga minyak mentah
dunia hari ini meningkat tajam hingga 25%, demikian sejumlah media daring
melaporkan. Dan IHSG di BEI seakan mengamuk lagi dan menembus harga resistensi.
Dan diharapkan akan terus menguat minggu depan. Walaupun segala kemungkinan akan
muncul dan mengubah semua skenario.
Optimisme yang rasional
dan risk calculated menjadi framing yang harus dimiliki agar mampu membuat
keputusan yang tegas. Dan dengan demikian pengendalian investasi bisa dilakukan
dalam framing yang dibangun.
Semoga IHSG minggu depan akan menembus atau mendekati angka psikologis di Rp 5000-an.
Artikel ini telah diterbitkan di