Menyimak bagaimana seru dan seramnya perbincangan mengenai naik turun saham-saham spekulatif secara cepat atau pembicaraan mengenai melambung dan terjerembabnya saham-saham “gorengan”, adalah seperti mendengar cerita dari dunia lain. Euforia dan ratapan, dunia yang tidak pernah dialami oleh kaum investor. Paling tidak seharusnya begitu. George Soros mengatakan, “If investing is entertaining, if you’re having fun, you are probably not making any money. Good investing are boring.” So, para investor, why worry?

Bagaimanapun, para investor memiliki dunianya sendiri. Dunia yang tidak hidup dari menit ke menit, dari jam ke jam, dari hari ke hari, dari minggu ke minggu, maupun dari bulan ke bulan. Investor hidup di satuan waktu tahun, bisa dalam rentang tiga, lima, sepuluh tahunan, bahkan lebih. Tidak ada hal jangka pendek yang mampu membuatnya khawatir, visi dan harapannya ditaruh jauh di depan, menembus ruang dan waktu. Bersama dengan saham-saham perusahaan terbaik yang dimilikinya, dan bukan dengan saham-saham spekulatif yang berumur pendek. Seperti seorang Warren Buffet yang tidak pernah peduli dengan pergerakan harga harian saham di bursa, karena Eyang Buffet adalah “pemilik perusahaan” dan bukan “pemilik saham”. Dan “My favorite holding period is forever”, katanya.

Menyimak percakapan para trader saham adalah sesuatu yang sulit dicerna oleh para investor, dan dipastikan sebaliknya juga seperti itu. Para trader mungkin juga tidak pernah mengerti dengan dunia para investor yang membosankan itu. Apa menariknya hidup monoton begitu? Dua spesies dengan cara memandang hidup yang berbeda, cara menjalani hari yang berbeda, dan niscaya dengan banyak beda-beda yang lainnya. Jadi biarkan saja masing-masing hidup di habitatnya sendiri. Para trader adalah kaum terbaik yang dengan segala metode perhitungannya mencoba membaca pergerakan saham, paling tidak berusaha mencoba, dalam rentang waktu yang singkat dan perhitungan akurat, berharap keuntungan dari perbedaan harga beli dan jual. Trying to ride the waves. (Sedangkan investor mungkin lebih mirip pendayung perahu di danau tenang, dengan angsa-angsa cantik di kiri kanannya.) Tentu saja tidak ada yang salah dengan kondisi demikian, selama sang trader adalah “peselancar” yang baik. Walaupun di film Point Break, bahkan Patrick Swayze, sang peselancar ganteng macho terbaik itu, bisa juga satu saat tergulung ombak super besar. Dan hilang tak pernah kembali, di akhir cerita.

Seorang investor pun bukan tanpa risiko, kalau perusahaan miliknya ternyata tidak sesuai harapan, tidak bertumbuh kembang, berkinerja buruk dan merugi, tidak membagikan dividen tahunan rutin, bahkan mungkin saja pailit satu saat. Perahu toh bisa saja bocor suatu ketika. Tetapi di Bursa Efek Indonesia terlalu banyak perahu besar nan kokoh, siap menidurkan para investor di danau tenang itu. Dengan menutup mata sekalipun, rasanya mudah saja menyebut sepuluh atau tiga puluh atau empat puluh lima perusahaan Indonesia terbaik dan terbesar di bidangnya, untuk dibeli. Sederhana saja.

Investor memang seharusnya selalu bisa tidur dengan nyenyak. Layaknya bayi yang tertidur, so peaceful, tidak ada hal yang dikhawatirkan sama sekali. Sedangkan trader - anekdotnya - mungkin saja adalah seperti bayi juga. Hanya saja tidurnya berbeda dengan “bayi investor” tadi, karena “bayi trader” akan tertidur dan selalu terbangun setiap jam. Dan menangis.

Menaruh prasangka bahwa seorang investor baru akan berada dalam dunia penuh risiko, terlebih karena mereka “hanya” punya modal awal Rp100.000 untuk dibelikan saham, adalah terlalu berlebihan. Pelecehan luar biasa kepada kelompok masyarakat itu, seolah-olah kemampuan keuangan (dan penalaran keuangan) mereka sangat minim dan terbatas. Siapapun itu, mahasiswa, supir kendaraan umum, petani lada, pedagang cendol, satpam, atau buruh pabrik berhak untuk menjadi investor saham. Bukan trader, seperti dalam kacamata para pemain saham dari dunia yang berbeda itu. Dan para investor pemula itu sudah membuktikannya. Berdiskusilah dengan Ibu Rita Sinaga dan Aloysius anaknya yang SD di Papua sana, berkendaralah dan berkunjunglah ke Desa Argo Mulyo di Kalimantan Timur dan berswafoto di tugu Desa Nabung Saham, temuilah dan ucapkan selamat kepada Mas Idunk di Yogyakarta yang baru saja memberikan mas kawin berupa saham kepada istri tercintanya, Mbak Annisa.

Di Bursa Efek Indonesia, tetap saja tersedia banyak perusahaan-perusahaan dengan nilai saham di bawah Rp1.000 yang layak untuk diinvestasikan. Atau masyarakat bisa saja menunggu uangnya menjadi Rp300.000 atau Rp500.000 atau Rp1.000.000 untuk mulai membeli lot pertama saham perusahaan terbaik pilihan mereka. Gitu gak repot toh? Ataupun membeli reksa dana pertama mereka, mempercayakan dana kepada para pengelola keuangan terbaik, bahkan dengan uang Rp50.000. Kita-kitalah yang “sedikit lebih lama” di pasar dan yang “sedikit lebih pintar” yang wajib membimbing mereka, dan bukan malah merasa berhak menakut-nakuti dan menghalangi mereka. Untuk hal yang satu ini, apa boleh buat, kita hanya memiliki kewajiban dan hanya kewajiban, dan bukannya hak.

Akhirnya, pernahkah sedikit saja terbersit pemikiran di kepala kita, ketika seorang rakyat menjadi seorang investor pasar modal, dan mereka akan semakin mencintai negeri ini? Adakah investor yang berharap hal buruk terjadi pada perusahaannya dan negaranya? Bukankah investor akan berdoa dari waktu ke waktu, berharap Indonesia yang semakin aman, semakin damai, semakin sejahtera, dan melibatkan diri dalam mempertahankan kondisi demikian? Bayangkan apa jadinya negara ini kalau sebagian besar rakyatnya adalah juga para investor pasar modal. Bayangkan betapa besarnya aura cinta tanah air menyelimuti negeri indah ini.

Pada akhirnya investasi memang tidak lagi melulu soal uang dan keuntungan, ini adalah soal nilai moral kehidupan, dan masa depan bangsa dengan rakyat yang penuh rasa positif optimis yang mencintai negaranya. Terdengar terlalu absurd dan idealis? Mungkin saja, tapi investor memang adalah para pemimpi, “They have their dream”. Dan toh sekali lagi mereka terbukti bisa merealisasikan mimpinya. Tanyakanlah ke Warren Buffet. Tanyakan ke Lo Keng Hong. Tanyakan juga ke Giring Nidji. Seperti kata Steven Covey, bukankah segala sesuatu di dunia ini selalu tercipta dua kali? Sekali di alam mimpi. Satunya lagi di alam nyata.


Oleh : Nicky Hogan
Direktur Bursa Efek Indonesia