Sejumlah faktor turut mempengaruhi
pergerakan IHSG. Salah satunya adalah kebijakan moneter The Fed yang berencana
menaikkan kembali suku bunga nya di tahun 2018 ini. Terkait hal tersebut,
baru-baru ini kita sempat membahas mengenai dampak kenaikan The Fed terhadap
IHSG. Jika Anda belum sempat membacanya, Anda bisa membacanya terlebih dahulu
di sini.
Sudah? Oke.. Pada intinya, dalam artikel tersebut
kita mengetahui bahwa sejak tahun 2017 lalu The Fed sudah menaikkan suku bunga
nya beberapa kali dari 0.25% menjadi 1.5% saat ini. Dan di tahun 2018, The Fed
akan kembali menaikkan kembali tingkat suku bunganya. Salah satu dampak dari
kenaikan tingkat suku bunga Fed Rate tersebut adalah melemahnya
nilai tukar Rupiah, di mana dalam sebulan terakhir ini Rupiah
melemah dari 13.300 menuju 13.700 an. Angka nilai tukar Rupiah
ini merupakan rekor terburuk sejak Februari 2016 yang lalu. Sejumlah analis
bahkan memprediksi bahwa Rupiah akan melemah sampai dengan 14.000 an. Apakah
benar demikian? Sebenarnya apa korelasi antara kenaikan Fed Rate dan Pelemahan
Nilai Tukar Rupiah? Serta apa dampak Pelemahan Nilai Tukar Rupiah terhadap
IHSG?
Faktor Yang Mempengaruhi Pelemahan Nilai Tukar Rupiah
Sebelum kita menjawab pertanyaan tersebut, mari kita
jawab sebuah pertanyaan : Faktor apa yang menyebabkan Nilai
Tukar Rupiah melemah? Apakah melemahnya Nilai Tukar Rupiah
hanya disebabkan karena kenaikan Fed Rate? Jawabannya tidak. Sedikit flashback
ke belakang, Rupiah juga pernah melemah secara signifikan di tahun 2013 dan
2015. Di tahun 2013, Rupiah melemah dari 9,000 an ke 12,000 an. Dan di tahun
2015, Rupiah melemah dari 12,000 an ke 15,000 an. Jika kita korelasikan
pelemahan Rupiah di tahun 2013 dan 2015 tersebut dengan Fed Rate, kita tahu
saat itu Fed Rate masih adem
ayem di
0.25% alias masih di titik terendahnya. Jadi, sekarang kita
tahu bahwa kenaikan Fed Rate bukan pengaruh tunggal yang
menyebabkan melemahnya nilai tukar Rupiah.
Lalu kalau begitu, apa penyebab melemahnya Rupiah di
tahun 2013 dan 2015? Salah satu penyebab melemahnya Rupiah saat itu adalah
karena Neraca Perdagangan Indonesia yang lebih banyak mencatatkan Neraca
Perdagangan Defisit ketimbang Neraca Perdagangan Surplus.
Bagi Anda yang belum tahu, Neraca Perdagangan Defisit
terjadi ketika Impor lebih besar ketimbang Ekspor, dan Neraca Perdagangan
Surplus terjadi ketika Ekspor lebih besar ketimbang Impor. Sebagai gambaran,
selama tahun 2012 – 2015, Indonesia lebih banyak mencatat Neraca Perdagangan
Deficit (Impor > Ekspor). Karena impor lebih besar ketimbang ekspor, maka
mata uang asing lebih banyak digunakan, yang membuat nilai tukar Rupiah
cenderung melemah. Pada tahun 2013 sendiri, Indonesia mencatatkan Neraca
Perdagangan Defisit sebesar US$ 4.1 miliar. Hal ini turut mendorong Rupiah
melemah dari 9,000 an ke 12,000 an seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Sementara sejak tahun 2016 – 2017, Indonesia lebih banyak
mencatatkan Neraca Perdagangan Surplus (Ekspor > Impor). Karena ekspor lebih
besar ketimbang impor, maka mata uang Rupiah lebih dominan digunakan, yang
membuat nilai tukar Rupiah cenderung menguat dan stabil. Sebagai gambaran, pada
tahun 2017 kemarin Neraca Perdagangan Indonesia Surplus US$ 11.84 Miliar.
(Notes : Kalau Anda mau tahu tentang pergerakan Neraca Perdagangan Indonesia,
Anda bisa lihat trend nya di https://tradingeconomics.com/indonesia/balance-of-trade)
Nah bagaimana dengan tahun 2018 ini? Per Januari 2018
kemarin, Indonesia kembali mencatatkan Neraca Perdagangan Defisit sebesar US$
0.67 Miliar. Namun masalahnya tidak hanya itu. Masalah yang lebih besar adalah
dengan rencana The Fed akan menaikkan suku bunga Fed Rate turut memunculkan
banyak spekulan menjelang FOMC meetings pada Maret 2018
ini. Setidaknya dua hal ini lah yang membuat Rupiah bergerak melemah selama 1
bulan ini. Padahal di bulan Januari 2018, Rupiah sempat bergerak menguat karena
faktor US
Government Shutdown.
Peran Bank Indonesia dalam Menjaga Nilai Tukar Rupiah
Setelah kita mengetahui faktor yang mempengaruhi nilai
tukar Rupiah, kita perlu memahami juga bahwa Bank Indonesia memegang peranan
penting dalam menjaga nilai tukar Rupiah. Bank Indonesia sebagai otoritas
moneter bertugas menjaga kestabilan nilai tukar Rupiah. Dalam menjaga Nilai
tukar Rupiah, Bank Indonesia menjaga keseimbangan antara ekspor, impor, hingga
permodalan asing yang masuk ke Indonesia. Semakin banyak dana asing yang masuk
ke Indonesia, maka membuat nilai tukar Rupiah cenderung menguat.
Nah selepas dari Rupiah yang bergerak melemah di tahun
2013 dan 2015, selama 2 tahun terakhir (2016 & 2017) Bank Indonesia
betul-betul menjaga nilai tukar Rupiah agar bergerak stabil di kisaran 13,300 –
13,500 an. Tidak heran, seperti yang Anda bisa lihat sendiri, nilai tukar
Rupiah yang stabil turut membuat IHSG dalam trend bullish sepanjang tahun 2016
dan 2017.
Menyikapi pelemahan Rupiah belakangan ini, Bank Indonesia
sendiri mengaku sudah melakukan intervensi ke pasar dengan menggelontorkan
cadangan devisa agar nilai tukar Rupiah tidak terpuruk lebih dalam. Selain itu,
Bank Indonesia sendiri juga sudah memastikan akan terus melakukan intervensi
agar pelemahan rupiah tidak sampai ke level 14,000. Dengan demikian, kita bisa
berharap bahwa pelemahan Rupiah ini hanya bersifat sementara dan tidak
berkepanjangan.
Pengaruh Nilai Tukar Rupiah Terhadap IHSG
Di awal artikel ini, kita sempat menyebutkan bahwa Rupiah
sempat melemah cukup signifikan di tahun 2013 dan 2015. Di tahun 2013, Rupiah
melemah dari 9,000 an ke 12,000 an. Demikian pula pada tahun 2015, Rupiah
melemah dari 12,000 an ke 15,000 an. Kalau kita hubungkan antara pelemahan
Rupiah dengan pergerakan IHSG, memang terdapat korelasi antara nilai tukar
Rupiah dengan IHSG. Pada periode melemahnya nilai tukar Rupiah tersebut, IHSG
sempat melemah dari 4,800 an ke 4,000 an di tahun 2013 dan juga 5,500 ke 4,300
an di tahun 2015 an.
Jadi secara historical, memang terlihat korelasi positif
antara pelemahan Rupiah dengan Pelemahan IHSG. Di mana ketika Rupiah bergerak
melemah secara signifikan, maka IHSG akan ikut terkoreksi lumayan dalam. Untuk
lebih jelasnya, Anda bisa lihat korelasi antara Nilai Tukar Rupiah dengan IHSG
di bawah ini :
Korelasi
Antara Nilai Tukar Rupiah (Atas) dengan IHSG (Bawah)
Strategi Berinvestasi Menghadapi Pelemahan Rupiah
Penulis melihat sebenarnya saat ini masih terlalu dini
untuk menyebut Rupiah bergerak melemah. Karena dibandingkan dengan 2013 dan
2015, maka pelemahan di tahun 2018 ini belum apa-apa. Ingat di tahun 2013
Rupiah bergerak melemah dari Rp 9,000 an ke 12,000 an (melemah Rp 3,000 an),
dan di tahun 2015 Rupiah bergerak melemah dari Rp 12,000 ke Rp 15,000 an
(melemah Rp 3,000 an). Di tahun 2018 ini, Rupiah baru bergerak melemah dari Rp
13,300 ke Rp 13,700 (“baru” melemah 400 an).
Meskipun demikian, ada baiknya kita menyiapkan strategi
berinvestasi menghadapi pelemahan Rupiah ini. Secara overall, pelemahan
Rupiah ini memang menjadi sentimen negatif bagi Laporan Keuangan Emiten karena
akan menimbulkan beban yang lebih besar dibandingkan seharusnya. Beberapa hal
yang bisa kita lakukan sebagai investor:
1. Cek apakah
Perusahaan menggunakan bahan baku berorientasi bahan baku impor?
Tekanan terhadap Rupiah berdampak pada sektor yang
mengandalkan bahan baku impor, seperti misalkan sektor pakan ternak yang
mengandalkan impor jagung. Biaya Impor bahan baku akan menjadi lebih mahal
akibat adanya selisih kurs ini. Oleh karena itu, hindari perusahaan yang
memiliki orientasi bahan baku impor.
2. Cek apakah
perusahaan memiliki hutang dalam mata uang asing dalam jumlah besar?
Apabila perusahaan memiliki hutang dollar AS apalagi
dalam jumlah besar, hal tersebut akan membebani perusahaan karena biaya bunga
yang harus dibayarkan otomatis juga menjadi lebih besar. Oleh karena itu,
hindari terlebih dahulu perusahaan yang memiliki hutang dalam mata uang asing
dalam jumlah besar.
3. Cek juga apakah
Pendapatan Perusahaan berorientasi pada Ekspor?
Di sisi lain, pelemahan Rupiah bisa menjadi berkah bagi
beberapa emiten. Terutama emiten yang menjual produknya dalam mata uang US
Dollar. Apabila Perusahaan berorientasi pada ekspor, justru Perusahaan bisa
mendapatkan “pendapatan lebih” dari selisih kurs mata uang tadi.
KESIMPULAN
Kita sekarang sudah mengetahui bahwa terdapat korelasi antara pelemahan nilai tukar rupiah dengan pelemahan IHSG. Namun demikian, untuk saat ini masih terlalu dini untuk mengatakan Rupiah bergerak melemah, di mana Bank Indonesia sendiri telah melakukan intervensi untuk menjaga agar nilai tukar Rupiah tidak menembus ke level di atas 14,000. Selama Rupiah belum menyentuh 14,000 maka masih bisa dikatakan aman. Oleh karena itu, kita tidak perlu panik secara berlebih dalam menyikapi pelemahan Rupiah ini. Kita juga bisa memanfaatkan pelemahan Rupiah ini dengan berinvestasi di perusahaan yang memiliki orientasi ekspor, karena Perusahaan yang berorientasi ekspor justru diuntungkan dengan melemahnya nilai tukar Rupiah. Sebaliknya, hindari terlebih dahulu berinvestasi di perusahaan yang memiliki orientasi menggunakan bahan baku impor dan memiliki hutang Dollar AS dalam jumlah besar.