Kali ini, Dream for Freedom, Cakrabuana Sukses Indonesia dan United Nations Swissindo World Trust International Orbit menambah panjang daftar investasi ilegal yang meresahkan masyarakat (KONTAN, 2/11). Maraknya investasi ilegal berupa skema investasi cepat kaya (get rich quick scheme) memberi gambaran bahwa masih ada persoalan dalam perilaku keuangan masyarakat.

Model investasi get rich quick scheme umumnya dilakukan dengan skema ponzi dan piramida. Skema ponzi adalah modus investasi dimana hasil investasi yang diberikan pada investor berasal dari dana investor lain yang baru ikut bergabung (Benson, 2009) atau tidak berasal dari hasil aktivitas investasi yang riil sesungguhnya (Lewis, 2012). Skema piramida hampir sama dengan skema ponzi. Namun dalam skema piramida, investor harus mengajak investor baru untuk bergabung seperti dilakukan melalui arisan berantai.  

Di Indonesia, model penawaran investasi dengan skema ini lebih dikenal dengan istilah investasi bodong. Meskipun tidak ada catatan resmi kapan investasi bodong mulai beroperasi di Indonesia, KONTAN mencatat modus investasi ini sudah memakan korban sejak 1975. Adakah sesuatu yang salah sehingga modus investasi ini kembali terus terulang ? 

Bias perilaku

Shiller (2000) menyatakan bahwa skema ponzi adalah bentuk irrational exuberance dan menggambarkan perilaku psikologis dimana orang bertindak tidak rasional. Greenspan (2008) juga menyatakan bahwa pendekatan psikologis dapat memberikan jawaban dalam memahami alasan seseorang terlibat skema ini. Pendekatan psikologi dalam ilmu keuangan sepertinya tepat dalam persoalan ini dikarenakan memiliki asumsi bahwa manusia adalah makhluk yang tidak selalu rasional dalam mengambil keputusan.

Dalam perspektif ekonomi konvensional, manusia dianggap rasional yang selalu berusaha memaksimalkan keuntungan. Tapi manusia tidak selalu rasional karena ada pengaruh psikologis yang diwujudkan dalam bias perilaku. Faktor psikologis itu mempengaruhi seseorang untuk berinvestasi dalam skema ponzi dan piramida (Elan, 2010; Lewis, 2012).

Beberapa bias perilaku yang dapat mempengaruhi keputusan investasi pada skema ini adalah optimism bias, overconfidence, representativeness bias, confirmation bias, framing dan herding. Optimism bias adalah kecenderungan seseorang untuk melebih-lebihkan kemungkinan bahwa hal-hal yang baik akan terjadi dan meremehkan potensi peristiwa yang tidak menyenangkan. Ia optimistis skema itu benar dan akan mengalami hal yang sama seperti investor lain yang sudah mendapatkan keuntungan.

Individu yang mengalami optimism bias lebih percaya diri (overconfidence) karena merasa memiliki kelebihan pengetahuan dan kemampuan yang lebih baik dibanding orang lain. Riset Camerer dan Lovallo (1999) membuktikan bahwa individu yang overconfidence cenderung menyukai aktivitas berisiko. Dan benar terbukti overconfidence adalah salah satu faktor yang membuat investor menjadi korban penipuan investasi seperti pada skema ponzi (Elan, 2010) dikarenakan keyakinan bahwa mereka tidak akan menjadi korban penipuan (Kaul, 2013).

Faktor lain yaitu representativeness bias ketika seseorang tertarik dengan suatu skema karena keberadaan seseorang atau sekelompok orang yang disegani atau dikagumi dalam skema ini. Keberadaan mereka terkadang memang sengaja digunakan sebagai stereotype untuk menarik perhatian investor baru. Skema ini sering memanfaatkan kehadiran orang tertentu di sebuah komunitas untuk mencari investor baru (Reurink, 2016). Seringkali mereka public figure yang memiliki reputasi di masyarakat dan menjadi magnet bagi investor.

Korban skema investasi ponzi yang dilakukan Bernard Madoff juga salah satu contoh adanya representativeness bias (Yong, 2013). Madoff mampu menarik banyak investor karena ia penganut Yahudi taat di komunitasnya dan disegani di kalangan investor Wall Street. Di Indonesia, skema yang ada seringkali memanfaatkan pejabat, artis, tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk menarik investor seperti dilakukan pengelola Qurnia Subur Alam Raya, Golden Traders Indonesia Syariah dan Raihan Jewellery.

Keberadaan skema ini sulit dibedakan dengan investasi legal manakala skema ini ikut mendukung kegiatan resmi sehingga investor merasa skema itu adalah legal dan aman. Sebagai contoh, MMM dari Rusia ikut mensponsori tim sepak bola Rusia pada piala dunia 1994.

Selain stereotype, representativeness bias menurut M. M. Pompian (2006) juga bisa berarti investor menggunakan “the law of small numbers” yaitu menganggap sampel kecil merupakan gambaran sebenarnya dari populasi. Beberapa orang yang sudah mendapatkan pengembalian dari suatu skema investasi akan dianggap mewakili kondisi yang akan dialami oleh seluruh investor.

Representativeness bias kemudian dapat memunculkan confirmation bias, yaitu kecenderungan seseorang mencari informasi yang mendukung pendapatnya atau mengesampingkan informasi yang tidak mendukung pendapatnya. Confirmation bias dalam skema ini terlihat ketika investor mengabaikan peringatan terhadap skema investasi itu (Shefrin, 2015).

Keinginan seseorang melakukan investasi semakin kuat ketika terjadi framing, yaitu kecenderungan mengambil keputusan berdasarkan informasi yang disajikan. Pengelola skema umumnya membingkai informasi dengan frame positif, yaitu memberikan informasi yang baik kepada calon investor, misalnya keberhasilan orang yang sudah dapat keuntungan.

Bias perilaku lain adalah herding, yaitu seseorang yang mengikuti orang lain atau meniru perilaku kelompok dalam mengambil keputusan daripada memutuskan sendiri. Banyaknya orang di lingkungan sekitar yang ikut investasi ilegal membuat seseorang tertarik bergabung karena ia juga ingin jadi bagian dari orang-orang yang ‘sukses’.

Bagi mereka yang menjadi korban akibat ketidaktahuan, program literasi keuangan adalah salah satu solusi menyelesaikan persoalan. Problem utamanya justru ada pada investor yang sebenarnya mengetahui mekanisme fraud yang dilakukan pengelola. Riset Stephenson (2014) dan Hidajat (2016) menunjukkan korban investasi ilegal justru memiliki skor literasi keuangan lebih tinggi dibanding mereka yang bukan korban. Literate namun irasional. Inilah yang membuat investasi ilegal sulit ditangkal dan kembali terus terulang.


By : Taofik Hidajat 
Dosen STIE Bank BPD Jateng; Sedang Menempuh Program Doktor Ilmu Manajemen Universitas Padjajaran

Artikel ini telah terbit sebelumnya pada Senin, 07 November 2016 di https://m.kontan.co.id/news_analisis/irasionalitas-dalam-investasi?page=2