Pro-Kontra
Melemahnya Rupiah
Rupiah
melemah terhadap dolar Amerika, bahkan transaksi dalam money market telah
menyentuh angka Rp 15.000 /dolar USA. Seluruh negeri-pun "geger
habis-habisan", seakan-akan "dunia akan kiamat" bagi Indonesia.
Perdebatan-pun menjadi marak dimana-mana, mulai dari kalangan rakyat
"jelata" hingga para elit politik di senayan.
Para
analis ekonomi-pun bersuara diberbagai media dan pemerintah-pun melalui para
menteri bidang ekonomi dan keuangan menjadi "sibuk" memberi
penjelasan dan mengambil keputusan-keputusan strategis terutama untuk jangka
pendek.
Pro
kontra dan perdebatan-pun ter-polarisasi menjadi dua kecenderungan utama, yaitu
yang sangat pesimis mengkuatirkan akan situasi menjadi krisis dan yang optimis
bahwa situasi akan baik-baik saja dan keadaan akan kembali normal kembali.
Perbedaan
kedua kubu pemikiran ini sangatlah biasa dalam meramalkan masa depan ekonomi.
Namun, oleh karena tahun ini memasuki tahun politik hingga tahun depan, yaitu
Pemilihan Presiden dan Pemilihan Legislatif, maka isu tentang pelemahan rupiah
terhadap dolar ini memiliki bobot politik yang sangat kuat.
Pelemahan
nilai rupiah hingga nyaris menyentuh Rp15.000/dolar Amerika ini, menjadi
amunisi yang sangat kencang untuk menyerang dan menghantam pemerintahan
sekarang yang notabene juga masih menjadi calon kuat presiden tahun 2019, yaitu
Presiden Jokowi dan Jusuf Kalla dan Kabinet Kerjanya.
Kelompok
yang berpendapat pesimis terhadap situasi yang ada pada umumnya cenderung dari
pihak yang berseberangan dengan pemerintahan sekarang. Dan yang berpendapat
positif dan optimis bahwa situasi akan baik-baik saja cenderung yang
"membela atau pro" pada pihak pemerintahan. Ini-pun sesungguhnya
sangatlah wajar adanya dalam ranah perdebatan publik, dan harus diakui menjadi
sangat menarik dan bermanfaat sebagai pembelajaran publik tentang situasi
"genting" atau "penting" yang dihadapi oleh bangsa dan
negara ini.
Kelompok
yang sangat pesimis terhadap melemahnya nilai rupiah terhadap dolar Amerika
ini, bisa dipahami dengan baik. Mengingat peristiwa 20 tahun silam ketika
terjadinya krisis ekonomi dan diikuti oleh krisis politik yang sangat berat,
sehingga terjadinya kerusuhan diseluruh negeri hingga tumbangnya rezim Orde
Baru atau Orba, dan Presiden Soeharto yang sudah sangat berkuasa selama 32
tahun tanpa jeda, akhirnya jatuh juga dengan sangat tidak terhormat bagi negeri
ini.
Peristiwa
yang dikenal dengan Reformasi ini, sungguh sebuah peristiwa traumatis yang
tidak mudah dilupakan oleh setiap orang di negeri ini. Peristiwa
kerusuhan dimana-mana, penghancuran dimana-mana, dan anak-anak negeri-pun
berhadap-hadapan saling "membunuh" dan "merusak".
Peristiwa
12 Mei 1998 yang memakan korban anak-anak muda belia, mahasiswa dan sebagainya
telah menjadi "warning" yang sangat kuat bagi publik Indonesia untuk
tidak terulang lagi. Waktu itu, saat nilai rupiah melemah habis-habisan hingga
menyentuh Rp 16.000an, memaksa banyak bank yang bangkrut dan usaha
berantakan.
Inilah
penyebab utama sikap pesimis publik saat sekarang rupiah melemah hingga nyaris
ke angka Rp15.000/dolar Amerika.
Publik
yang sangat optimis bahwa melemahnya nilai rupiah terhadap dolar Amerika ini
tidak akan menyebabkan krisis apalagi kepailitan ekonomi Indonesia, dengan
alasan yang juga sangat masuk akal. Yaitu, situasi saat ini sangat jauh berbeda
dengan situasi pada 20 tahun yang lalu saat keluarga Cendana harus turun dari
takhta kepresidenan. Publik meyakini saat ini kondisi ekonomi Indonesia masih
sangat solid dan tentu kuat. Bisa dilihat dari angka-angka inflasi, pertumbuhan
ekonomi, rasio hutang, dan lain-lain. Sehingga pelemahan nilai rupiah tidak
akan menyebabkan collapse-nya ekonomi Indonesia.
Nilai
Rupiah ditentukan Pasar
Saya
tidak dalam posisi mengetahui semua data tentang ekonomi Indonesia,
kecuali yang bisa dibaca dan diikuti melalui media massa yang terus tersaji
dengan baik. Namun, secara teori dapat dipahami dengan mudah bahwa nilai rupiah
atau harga rupiah terhadap dolar, naik atau turunnya sangat ditentukan oleh
permintaan dan penawaran terhadap dolar Amerika.
Ketika
harga dolar Amerika terus naik menuju ke angka Rp15.000/dolar, itu artinya
banyak orang membeli atau mengejar dan mengumpulkan dolar Amerika. Saking
besarnya permintaan dolar, maka harganya menjadi naik, dan orang melepaskan
rupiah dan menyimpan dolar itu.
Memang
menjadi pertanyaan mendasar, mengapa orang mau memburu dolar itu ? Dan itulah
yang menjadi penyebab utama mengapa rupiah terus melemah terhadap dolar.
Para ahli meyakini ada begitu banyak faktor yang menyebabkannya, baik
yang faktor-faktor yang datang dari dalam Negeri Indonesia sendiri, dan
terutama dan maupun faktor yang datang dari luar negeri, atau penyebab
faktor globalisasi, sebagai konsekuensi dari Sistem Perekonomian Indonesia yang
"sangat" terbuka dari berbagai pengaruh dunia diseluruh muka bumi ini.
Saya
pikir, pemerintah Indonesia, terutama Menteri Keuangan, Menteri Perekonomiannya
dan menteri lainnya, sungguh sangat paham tentang ini dengan data-data yang
tentu sangat akurat. Dan oleh karenanya mereka juga paham betul bagaimana
menyelesaikannya segera, baik dan terutama untuk jangka pendek, maupun untuk
jangka panjang.
Sehingga
keputusan pemerintah menaikkan pajak 1.147 barang impor merupakan keputusan
yang sangat strategis untuk segera meredam laju pelemahan nilai rupiah terhadap
dolar Amerika. Dan saya pikir mungkin akan segera dikeluarkan berbagai
keputusan strategis lainnya untuk memulihkan keadaan nilai rupiah.
Masalah
Trust Publik bagi Pemerintah
Bagi
saya, melemahnya nilai rupiah terhadap dolar hingga Rp15.000, merupakan ujian
kepercayaan atau trust publik bagi perekonomian Indonesia. Bahkan menjadi batu
ujian bagi kepercayaan dunia kepada Republik Indonesia untuk mampu mengelola
masalah nilai rupiah ini.
Artinya,
sejauh publik dalam negeri memiliki keyakinan dan kepercayaan kepada pemerintah
Indonesia, maka situasi pasti akan terkendali dengan cepat dan baik. Masyarakat
hanya memiliki pemahaman dan persepsi yang sama terhadap masalah ini. Artinya
pula bahwa apapun yang terjadi, maka akibat dan dampaknya akan dirasakan oleh
semua rakyat Indonesia. Untuk itu, bila semua satu bahasa untuk mendukung
semua keputusan yang diambil oleh pemerintah maka ujian ini akan bisa dilewati
dengan selamat.
Dan
justru masalah yang dihadapi oleh Negeri ini adalah "perebutan
kekuasaan" memasuki tahun politik 2019. Setiap kesempatan akan menjadi
sumber tenaga untuk saling merebut kepercayaan publik bagi Pemilu tahun depan.
Dipahami, tentu sangatlah tak mudah bagi pemerintah untuk mendorong agar
semuanya satu bahasa adanya.
Kendatipun
demikian, kejadian melemahnya nilai rupiah, sangat mungkin menjadi momen emas
bagi publik untuk meyakini dan trust kepada kemampuan Pemerintahan Jokowi untuk
mengatasi masalah ini. Karena pada masa-masa yang lalu, tampaknya semua masalah
mampu diselesaikan dengan sangat bak oleh Presiden Jokowi.
New-Equilibrium
: Indonesia Naik Kelas
Saya
meyakini, ujian yang dihadapi saat ini bagi perekonomian Indonesia menjadi
sarana untuk naik level atau naik kelas menjadi lebih kuat dan lebih hebat lagi
ekonomi Indonesia. Keadaan sekarang boleh disebut sebagai gangguan yang mengguncang
situasi ekonomi Indonesia dengan tujuan pada akhirnya dia akan naik kelas atau
mencapai yang disebut "new-equilibrium", atau mencapai keseimbangan
yang baru. Keseimbangan yang baru lebih tinggi dari keseimbangan yang lama.
20
tahun yang lalu ketika terjadi krisis ekonomi, saya selalu berpendapat bahwa
Indonesia sedang mengalami ujian naik kelas. Dan ternyata setelah 20 tahun
Indonesia sudah naik kelas lebih tinggi dari yang diharapkan. Bayangkan kalau
tidak terjadi krisis 20 tahun silam, bisa jadi Indonesia masih diperintah oleh
Soeharto, dan ini artinya Indonesia tidak kemana-mana.
Mari
kita bersyukur ketika ada masalah yang dihadapi oleh bangsa dan negeri ini.
Karena itu menjadi kesempatan bagi anak-anak bangsa ini untuk bersatu dan
bersama-sama naik kelas lebih tinggi lagi.
Mari
kita bermimpi bersama dengan Jokowi bahwa tahun 2045 Indonesia akan menjadi
salah satu dari 10 negara terbesar di dunia ini. Apakah Anda punya keyakinan
seperti saya ?